Al-Qur'an
Thursday, February 23, 2012
Pelajaran dari Seorang Hamba Allah
Oleh Mohammad Y Fachri
Di dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak kejadian-kejadian selalu menyertai. Ada anugerah nikmat ataupun bencana yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan sebagai bagian dari bunga-bunga kehidupan. Ketika anugerah nikmat yang didapat, manusia selalu bersuka cita dan merasakan bahwa Allah SWT memuliakannya dan amat menyayanginya. Disisi lain ketika bencana menerpa, manusia mengganggap bahwa Allah SWT sedang murka kepadanya dengan menghinakannya. Hal ini Allah bantah di dalam Al Quran QS Al Fajr \[89]:15-20.
Ada sebuah pelajaran yang begitu berharga dari kisah seorang hamba Allah di dalam Al Quran mengenai hakikat sebuah peristiwa yang sering luput dari pemahaman manusia karena keterbatasan ilmu manusia itu sendiri. Pada dasarnya, Rasul-Rasul dan Nabi-Nabi yang diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk membimbing manusia pada jalan-Nya dibekali oleh ilmu syariat sebagai landasan yang membawa manusia kepada kemaslahatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Tapi amat sangat jarang para Nabi dan Rasul Allah tersebut dibekali dengan ilmu yang berlandaskan pada hakikat yang mana setiap kejadian saat ini adalah merupakan sebuah sebab untuk menjelaskan sebuah kemaslahatan dimasa datang.
Pada QS Al Kahfi \[18]:60-82 Allah Azza wa Jalla berkisah kepada kita akan seorang nabi pilihan-Nya yang telah ia beri wahyu dan kitab. Nabi yang bergelar ‘Kalimullah’. Dialah Musa as. Diberi gelar ‘Kalimullah’ karena ia adalah satu-satunya nabi yang menerima langsung wahyu dari Allah tanpa perantaraan jibril. Allah ‘Azza wa Jalla langsung berbicara dengan Nabi Musa ketika menerima kitab taurat. Tiada Nabi lain yang menyamainya. Nabi Musa as adalah juga seorang ‘ulul azmi’ (salah satu dari Rasul yang paling utama dari para rasul Allah). Demikian juga mukjizat yang Allah turunkan kepada nabi Musa as (Al Quran menyebutkannya ada sembilan mukjizat). Walaupun dengan kedudukan dan keutamaan yang seperti itu, Nabi Musa tetap diperintahkan untuk belajar dari seorang hamba Allah SWT yang shaleh. Nabi Musa as harus mencarinya untuk dapat belajar darinya. Allah tidak menyebutkan siapa sebenarnya hamba-Nya itu. Juga tidak menyebutkan namanya di dalam Al Quran. Allah SWT hanya menyatakan di dalam QS Al Kahfi \[18]: 65, “Lalu mereka (Musa dan pembantunya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. Sebutan Nabi Khidir muncul dari salah satu hadish Rasulullah saw yang masih diperdebatkan kesahihannya sedangkan Al Quran sendiri tidak memiliki informasi mengenai namanya. Khidir sendiri berarti ‘hijau’ atau juga ‘penuh keberkahan’. Jadi bukanlah merujuk kepada sebuah nama.
Dalam hadish riwayat Imam Bukhari diceritakan kisah yang melengkapi QS Al Kahfi \[18]:60-82 diatas sebagai berikut:
Ketika Nabi Musa as menyampaikan dakwahnya di tengah bani Israil, salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah ada di muka bumi ini seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Musa menjawab, “Tidak ada”. Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa tersebut. Lalu Allah SWT mengutus jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui dimana Allah meletakkan ilmu-Nya?” Musa sadar bahwa ia telah berlaku tidak benar dan terburu-buru. Jibril lalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba yang berada di ‘majma’ Al Bahrain’ (pertemuan dua lautan) yang mana ia lebih alim dari engkau. Allah memerintahkan dirimu untuk belajar kepadanya.”
Nabi Musa amat antusias untuk melakukannya. Ia ditemani oleh seorang pembantunya (menurut beberapa pendapat ulama ia adalah murid nabi Musa) pergi mencari hamba Allah tersebut. Allah hanya memberi petunjuk untuk membawa ikan di dalam wadah (keranjang) yang akan melompat ke laut di tempat pertemuan mereka dengan hamba Allah itu. (ayat 61-64). Dengan takdir Allah SWT, setelah melewati sebuah peristiwa yang hampir memupuskan harapan Nabi Musa as untuk bertemu dengan hamba Allah itu disebabkan kesalahan dari pembantunya yang membiarkan ikan tersebut melompat tanpa memberitahukannya, akhirnya mereka bertemu dengannya (ayat 65).
Kita bertanya hal apa yang mendasari bahwa Allah tidak menyebutkan nama dari hamba Allah tersebut di dalam Al Quran? (dalam beberapa Quran terjemahan dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari hamba Allah itu diartikan sebagai Nabi Khidir. Dan ini adalah sebuah kekeliruan) Demikian juga gelar yang disandangnya, apakah ia adalah seorang Nabi atau Rasul? Apakah ia dari golongan bani Israil atau bukan? Penyebutan ‘hamba Allah’ adalah sebuah gelar yang sangat umum dan amat sangat biasa. Demikian juga tempat pertemuan antara hamba Allah tersebut dan Nabi Musa yang hanya disebut dalam ayat sebagai ‘Majma Al Bahrain (pertemuan dua lautan)? Ketiadaan penyebutan namanya dan tempat pertemuan itu semata-mata agar kita semua yang membaca ayat-ayat Allah hanya fokus pada apa yang disampaikan (ruh dari kisah tersebut) dan tidak melihat peristiwa ini dari sisi lahiriahnya.
Ketika Nabi Musa as meminta kepadanya untuk mengikutinya dan berguru kepadanya, Ia menjawab, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai ilmu yang cukup akan hal itu?” (ayat 67-68). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa ilmu dari hamba Allah ini dan ilmu Nabi Musa berbeda. Nabi Musa sangat memahami ilmu syariat berupa wahyu yang telah Allah SWT wahyukan kepadanya sedangkan Hamba Allah tersebut lebih menguasai ilmu hakikat.
Walaupun demikian, tetap saja Nabi Musa memaksanya untuk ikut dengan mengatakan, “Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun” (ayat 69). Hamba Allah ini kemudian mengajukan syarat dengan mengatakan, “Jika engkau mengikutiku janganlah menanyakan tentang apapun yang aku lakukan sampai aku sendiri yang akan menjelaskannya kepadamu” (ayat 70).
Setelah terjadi kesepakatan akhirnya mereka berjalan bersama di tepi laut sampai akhirnya mereka sampai ke tempat dimana perahu berlabuh untuk menyeberangkan mereka ke suatu tempat bersama penumpang lainnya. Tapi ditengah jalan secara diam-diam hamba Allah itu melubangi perahu tersebut sehingga perahu mengalami kebocoran. Akhirnya perahu harus kembali ke tempat asal. Nabi Musa dengan tidak sabar bertanya kepadanya, “Kenapa engkau melubanginya? Sungguh kamu telah berbuat suatu kesalahan yang besar!” (ayat 71). Hamba itu hanya menjawab, “Bukankah telah kukatakan bahwa engkau tidak akan pernah sabar bersamaku?” (ayat 72). Akhirnya Nabi Musa ingat akan syarat yang telah mereka sepakati dan berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena kekhilafanku (dalam bertanya hal yang seharunya tidak kutanyakan) dan janganlah engkau bebani aku dalam urusanku dengan kesulitan (ayat 73).
Setelah hamba Allah tersebut memaafkan, akhirnya mereka meneruskan perjalannya kembali. Dalam perjalanannya mereka bertemu dengan beberapa anak-anak yang sedang bermain. Ketika anak-anak tersebut sedang beristirahat, hamba Allah ini mendekati salah satunya dan membunuhnya. Muncul kemarahan Nabi Musa dan berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih? Bukankah membunuh itu adalah suatu kemungkaran?” (ayat 74). Nabi Musa kembali mengabaikan apa yang telah disepakati dan hal ini terjadi adalah karena sikap ketidaksabarannya yang sangat manusiawi. Maka hamba Allah itu kembali menjawab, “Bukankah telah kukatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan pernah bisa sabar bersamaku?” (ayat 75). Maka kemudian Nabi Musa berkata, “Jika aku bertanya (atau mempersoalkan sesuatu yang engkau lakukan sesudah ini), maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sungguh engkau telah memberi tenggang kepadaku.” (ayat 76)
Setelah peristiwa ini kembali mereka melakukan perjalanan. Kali ini mereka memasuki sebuah desa dimana desa itu penduduknya terkenal karena kekikirannya. Mereka memohon kepada penduduknya untuk memberi bantuan kepada mereka berupa makanan, tapi tidak ada seorangpun dari penduduknya berkenan membantu mereka. Karena waktu yang telah sore akhirnya mereka harus beristirahat di sebelah rumah yang hampir roboh. Nabi Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah ini berusaha memperbaiki rumah yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan seluruh waktu malamnya untuk memperbaikinya dan membangunnya kembali seperti baru. Bagi Nabi Musa desa seperti itu tidak pantas untuk mendapat pekerjaan tanpa upah. Setelah hamba Allah itu selesai dari pekerjaannya, Musa berkata, “Jikalau engkau mau, engkau dapat mengambil upah untuk itu.” (ayat 77). Hamba itu berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau. Aku akan menjelaskan kepadamu hakikat perbuatanku yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya.” (ayat 78). Hamba Allah itu mengingatkan Musa tentang pernyataan yang seharusnya tidak dilontarkan sesuai dengan kesepakatan mereka.
Akhir dari kisah ini adalah terungkapnya hakikat dari setiap tindakan yang dilakukan oleh hamba Allah itu. Semua perbuatannya bukanlah hasil dari rekayasanya ataupun inisiatifnya sendiri. Ia hanya sekedar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa untuk menetapkan taqdir-Nya atas suatu kejadian. Semua kejadian itu menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Adapun usaha melubangi perahu itu adalah sebuah usaha untuk menghindari si pemilik perahu yang notabene adalah seorang miskin, dari usaha perampasan oleh Raja di tempat tujuan mereka yang tak jadi mereka datangi karena kebocoran perahu tersebut. Raja di seberang itu memerintahkan setiap perahu yang berlabuh harus diserahkan kepadanya demi untuk membantu memenangkan perang melawan musuhnya di negeri lain. Perahu si miskin tadi dapat terhindar dari usaha perampasan sehingga dirinya tetap dapat mencari nafkah di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (ayat 79).
Sedangkan pembunuhan terhadap si anak yang tak berdosa tersebut adalah sebuah penyelamatan bagi kedua orangtuanya. Si anak telah ditaqdirkan menjadi seorang yang dzalim dan akan selalu menyusahkan bagi kedua orangtuanya. Hal ini dapat mendorong orangtuanya untuk selalu membela sang anak sehingga lalai terhadap perintah Allah. Dimasa tua mereka kelak, si anak akan tetap menjadi beban dan menjadikan kedua orang tuanya sulit karenanya. Allah memiliki rencana akan memberi ganti kepada kedua orangtuanya seorang anak yang shaleh. (ayat 80-81).
Demikian juga halnya dengan rumah yang hendak roboh itu yang pemiliknya adalah 2 orang anak yatim. Ternyata dibawah rumah itu tersimpan harta peninggalan dari ayah mereka yang sholeh. Dan Allah menghendaki jika mereka dewasa kelak mereka akan menemukan harta yang tersimpan itu dengan petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla. (ayat 82)
Di akhir ayat ke 82, hamba itu menyebutkan, “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Apa yang dilakukan hamba Allah itu adalah atas hidayah Allah kepadanya. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah amat keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang dari Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu dalam. Aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Dan hal ini sulit dimengerti walaupun oleh seorang nabi Allah seperti Musa as. Meskipun Musa memiliki ilmu yang luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba Allah ini. Sedangkan bagi hamba Allah ini, ilmu yang ia dapatkan hanyalah laksana sebanyak air pada paruh seekor burung yang mengambilnya dari lautan yang luas.
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengajarkan kepada kita, betapa lemahnya kita sebagai hamba-hamba-Nya dalam hal ilmu. Kita tidak akan pernah mengerti hakikat sebuah kejadian sampai Allah SWT sendiri yang akan mengungkapkannya kepada kita. Janganlah pernah berburuk sangka terhadap apapun yang Allah tetapkan. Sebuah bencana yang tampak pada awalnya justru akan menjadi nikmat bagi hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Dan sebaliknya, sebuah nikmat yang dirasakan oleh hamba-hamba-Nya yang kufur pada awalnya justru akan menjadi bencana bagi mereka pada akhirnya. Banyak hal yang secara lahiriah adalah baik justru dibalik itu terdapat keburukan yang banyak.
Begitulah adanya. Nabi Musa as kembali menemui pembantunya dan mereka bersama-sama kembali kepada Bani Israil. Nabi Musa mendapat keyakinan yang luar biasa. Dalam kenyataannya, Nabi Musa as telah belajar akan dua hal yaitu: Ia tidak berbangga terhadap ilmu yang ia peroleh dalam hal syariat karena ada yang lebih tinggi dari itu yaitu ilmu hakikat yang Allah SWT anugerahkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Yang kedua adalah Nabi Musa as tidak pernah lagi mempersoalkan mushibah-mushibah yang dialami oleh manusia karena dibalik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya.
Dapatkah kita meneladaninya?
(Referensi: Tafsir Ibnu Katsir dan Buku Sejarah Nabi-Nabi Allah oelh Ahmad Bahjat)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment