Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Kompas Tempo Detiknews
Google Yahoo MSN
Blue Sky Simple News Simple News R.1 Simple News R.2 Simple News R.3 Simple News R.4

Al-Qur'an

Friday, May 18, 2012

RESENSI NOVEL GELOMBANG SUNYI TERLENGKAP


MERESENSI NOVEL
OLEH
MUHAMMAD MUBARAK CHADYKA PUTRA
KELAS XI.KHUSUS

KATA PENGANTAR
Alhamdullilah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan resensi novel “Gelombang Sunyi” karya Taufik Ikram Jamil. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan dan teladan manusia, Nabi Muhammad  SAW, yang telah menjadi rahmat  bagi seluruh alam. Semoga kami senantiasa menjadi umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman.
Resensi novel ini disusun untuk menyelesaikan salah satu tugas Bahasa Indonesia kami. Dalam proses penyelesaian resensi novel ini tak lepas dari bantuan  dan dukungan orang-orang terbaik disekitar kami. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami hendak mengucapkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya guru pembimbing kami Drs. H. Lukman yang banyak membantu dalam menyelesaikan tugas resensi ini.
Disadari bahwa resensi novel ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari kami. Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami mengharap kritik dan saran untuk kesempurnaannya, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi kami keluarga besar SMA Negeri 2 Parepare. Amin.


Parepare, 25 Mei 2012

            Penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Novel................................................................ 1
B.     Tujuan Pengarang....................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan Resensi........................................................... 2
D.    Manfaat Novel........................................................................... 2
E.     Sasaran....................................................................................... 2
BAB II       PEMBAHASAN
A.    Judul Resensi.............................................................................. 3
B.     Identitas Buku............................................................................ 3
C.     Ulasan Buku atau Sinopsis......................................................... 3
BAB III     HAL-HAL MENARIK DARI NOVEL
A.    Kelebihan Novel....................................................................... 14
B.     Kelemahan Novel..................................................................... 14
C.     Unsur Bahasa........................................................................... 14
BAB V       PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................... 16
B.     Saran......................................................................................... 17
Daftar Pustaka................................................................................................... 18




BAB I. PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Novel
Novel ini seakan menjadi curahan hati Pak Taufik tentang kondisi keterkinian Melayu. Beliau berpandangan bahwa Riau mengalami amnesia sejarah. Perlu diingat, sejarah bukanlah sekedar persitiwa masa lalu, tetapi memiliki filosofi tersendiri yang akan memberi banyak pengaruh terhadap jalannya suatu daerah pada masa akan datang. Dalam karyanya, beliau berusaha melayani tantangan  realitas dengan menunjukkan fakta-fakta sejarah tertentu dalam menjelaskan bagaimana bahasa hadir sebagai sebuah konstruksi sosial.
Novel ini berkisah tentang cerita perjuangan jurnalis memberikan bantuan hukum kepada saudara serumpunnya yang haknya tercerabut oleh kekuasaan dan terusir dari tanahnya sendiri. Tanpa disadarinya usahanya justru membuat dirinya disekap dan disiksa. Lama-kelamaan, jurnalis itu seakan-akan mengalami ‘mati suri’ dan jiwanya meronta-ronta untuk bebas dari penderitaan tersebut.
B.   Tujuan Pengarang
Tujuan penulis novel “Gelombang Sunyi”, adalah untuk memberikan informasi dan inspirasi tentang seorang jurnalis yang mengalami masalah serius dari salah satu pihak atas pemberitaannya selama ini. Di sini, jurnalis itu membantu warga kampung untuk mendapatkan perlindungan hukum agar tanah milik mereka tidak dirampas perusahaan raksasa yang mencaplok tanah di kampung mereka. Jadilah Kahar dan kawan-kawan bulan-bulanan, pihak keamanan yang disewa perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya melawan mereka. Si jurnalis, bahkan diculik dan disiksa sedemikian rupa agar tidak lagi melanjutkan pemberitaan persoalan itu di media massa tempatnya bekerja.
Menurut Pak Taufik, penulis novel ini, kisah yang digambarkan dalam novel tersebut sebenarnya tetap aktual hingga hari ini, salah satunya di Riau. Banyak sekali kisah serupa terjadi di negeri ini dan masih berlangsung hingga sekarang. Kita sering mendengar dan melihat kejadian yang digambarkan dalam karya ini dalam berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Penggambaran ini diharapkan bisa membuka mata pikir berbagai pihak berwenang agar tidak membabi-buta dalam mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lihatlah kondisi masyarakat kita di kampung-kampung yang menjadi korban atas pencaplokan tanah dan hutan mereka.
C.   Tujuan Penulisan Resensi
·         Untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
·         Untuk menambah wawasan dan mengasah kemampuan untuk membuat resensi
·         Untuk melatih diri dalam bekerja dan kami ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat tentang isi novel ini layak atau tidak untuk dibaca
D.   Manfaat Novel
Novel ini bermanfaat bagi semua masyarakat khususnya jurnalis dan pembela masyarakat kecil. Selain itu, untuk mengetahui cerita kehidupan jurnalis yang disekap karena pemberitaannya.
E.    Sasaran
Novel ini ditujukan untuk semua kalangan membacanya karena di dalamnya banyak dimuat kata motivasi dan inspirasi. Tetapi, cerita mesti kita lihat dari segala sudut pandang.




BAB II. PEMBAHASAN
A.   Judul Resensi
Membungkam Ketidakadilan Penguasa dengan Romantisme Wartawan Melayu
B.   Identitas Buku
1)            Judul Buku                                 : Gelombang Sunyi
2)            Pengarang                                  : Taufik Ikram Jamil
3)            Penerbit                                      : Penerbit Buku Kompas
4)            Tempat Penerbitan                     : Jakarta
5)            Tahun Penerbitan                       : 2001
6)            Tebal                                          : viii + 165 halaman
7)            Ukuran Kertas                            : 14 x 21 cm
8)            No. ISBN                                   : 979-9251-64-8
9)            Harga                                         : Rp. 21.000,-
10)        Resensitor                                  : Muhammad Mubarak C.P.
C.   Ulasan Buku atau Sinopsis
Terus terang, sebelumnya saya tidak tahu bahwa kita memiliki seorang sastrawan bernama Taufik Ikram Jamil. Ternyata, penulis asal Riau ini, telah banyak melahirkan karya sastra di tanah air. Baik berupa puisi, cerpen maupun novel. Bahkan beberapa karyanya tersebut pernah meraih penghargaan : Sandiwara Hang Tuah (1997) mendapat penghargaan sebagai karya budaya terbaik dari Yayasan Sagang Pekanbaru. Tahun berikutnya, Hempasan Gelombang (roman) menjadi juara harapan dua dalam Sayembara Penulisan Roman DKJ serta cerpennya yang berjudul Jumat Pagi Bersama "Amuk" (1999) meraih predikat sebagai Cerpen Utama Indonesia 1998  (juga versi DKJ).
Selain dikenal sebagai seorang cerpenis dan penyair, beliau juga dikenal sebagai jurnalis. Ia memulai karir kewartawanannya pada tahun 1983 sebagai wartawan di Mingguan Genta, Pekanbaru. Tahun 1988, ia pindah ke Kompas dan sempat ditugaskan di Jakarta. Pada tahun 2002, ia berhenti menjadi wartawan Kompas untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide kreatifnya demi kemajuan seni dan sastra.
Barangkali karena  terlahir sebagai orang Melayu, Taufik Ikram Jamil, sejak awal kehadirannya di dunia sastra, rupanya telah memposisikan dirinya sebagai sastrawan Melayu. Ini bisa kita lihat dari karya-karyanya yang sangat berbau Melayu, seperti :  Tersebab Haku Melayu (kumpulan puisi - 1995). Baginya tentu akan lebih mudah menulis dengan pendekatan budaya, tradisi, dan kebiasaan yang telah sangat akrab dengannya, yaitu : budaya Melayu. Karya yang tercipta akan lebih terjiwai oleh kedekatan kultural tersebut. Contohnya roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang telah melegenda karena banyaknya kedekatan kultural yang tercipta. Pak Taufik menyebut fenomena tersebut sebagai sebuah sastra subkultur seperti dikutip dalam Kata Pengantar novel Gelombang Sunyi ini.
Tema yang diangkatnya tentang asam manis dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, di bawah sebuah rezim otoriter. Roman ini berbau politik yang menceritakan perlawanan orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan. Tokoh ‘aku’ yang dijadikan sebagai pemeran utama dalam novel ini adalah seorang wartawan yang dalam perjuangannya membela saudara serumpunnya harus merasakan sakitnya disekap dalam kegelapan yang ia pun tak tahu dimana tempatnya.
Aku adalah seorang wartawan yang membela hak orang-orang di sebuah kampung yang tanahnya harus digusur untuk mendirikan perkebunan oleh sebuah perusahaan perkebunan nasional.
Aku mengurus bantuan hukum bagi Kahar dan 18 orang penduduk kampong lainnya yang dituduh membakar barak dan kantor perkebunan besar swasta nasional tersebut. Beberapa orang meninggal dan yang lainnya terluka. Kahar mengaku tidak melakukan penyerangan tersebut karena sudah 3 hari tidak pulang ke rumah, pergi ke hutan.
Aku sekarang berada di tempat gelap ini, entah dimana aku tidak tahu karena hanya gelap yang dapat dijumpai. Sampai dalam kegelapan berkelebatanlah berbagai macam ragam kisah heroik perjuangan bangsa Melayu Riau-Lingga untuk mempertahankan haknya dari pemerintah Hindia Belanda.
Apakah selanjutnya sang wartawan dibebaskan dari tempat gelap yang mengurungnya? Apakah dia masih dapat menjumpai cahaya yang diharapkannya menyergap hari-hari nya?
Tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai wartawan, bisa jadi berangkat dari pengalaman penulisnya yang juga wartawan. Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan kerap menghadapi berbagai bahaya yang mengancam nyawanya. Jika sebuah fakta tidak menyenangkan menyangkut nama seorang terkenal atau pejabat diangkat menjadi berita, tak jarang wartawan yang menulisnya lalu menjadi sasaran teror. Ingat saja tragedi yang menimpa beberapa wartawan di Maluku, wartawan sebuah stasiun TV swasta yang harus meregang nyawa demi profesi ini beberapa tahun yang lalu. Kisah roman ini mirip kisah Kahar yang juga salah satu tokoh dalam novel itu.
Tokoh Aku mengalami nasib yang sama dengan Kahar : diculik, disiksa, dianiaya, oleh pejabat pemerintah daerah yang tidak suka pada pemihakannya terhadap orang-orang desa yang mempertahankan tanah mereka. Mereka menolak tanahnya  dijadikan lahan perkebunan swasta.  Aku secara intens menurunkan berita tersebut yang membuat merah kuping para pejabat. Ia tidak hanya menulis berita, tetapi juga mencarikan seorang pengacara bagi para warga desa itu. Rasa kemanusiaannya terusik melihat kezaliman yang terjadi di depan matanya. Itulah yang kemudian mendatangkan bencana baginya.
Di dalam novel ini, penulis juga menyisipkan sebuah cerita mistis agar pemahaman pembaca semakin kuat dengan adanya ikatan cerita saat tokoh ‘aku’ harus mendengarkan suara yang ia bingung suara apa sebenarnya? Suara tersebut dihentakkan berkali-kali ke  dalam alat pendengaranya dengan bahasa yang lain pula.
“Zeg woula tartitaba ti tiu…” Suara manusia pikirku. Suara manusia yang keras di tengah gauh suara musik. Ya, tai apa yang dikatakan orang itu? Aku tak mengerti.
Bulu romaku merinding. Jangan-jangan itu suara hantu. Aku ingat, hantu paling suka di tempat yang gelap mengakap macam ini, di tempat cahaya tidak bermata, di temoat sinar kehilangan gerak.
Di Kampung  Sauli, aku pernah melihat bagaimana orang ingin mengetahui sesuatu dari seseorang dengan memanfaatkan hantu yang kononnya berserang di tubuh orang tersebut, yakni Imah. Masyarakat kampung pusing tujuh keliling, karena Imah mengaku bahwa dirinya dihamili oleh Joj Bus.
Tak dapat pula aku membayangkan  bagaimana seorang ditangkap hanut. Waktu kecil dulu, aku dan kawan-kawan paling takut  dengan hantu yang namanya Kupik. Hantu ini perempuan, memiliki rambut panjang dan mempunyai nyuk atau susu kata orang kampungku, melempai di bahu sampai putingnya menjejak tumit.
Lucunya setelah menakut-nakuti pembaca dengan beberapa bagian mistis, novel ini kemudian dituangkan sebuah kisah konyol ketika Imah si wanita kerasukan mengaku dihamili oleh Joj Bus, yang tak lain dimaksud adalah George Bush. Pada saat itu, memang lagi tren berita tentang Bush yang memutuskan menyerang Irak untuk mengangkat pamor politiknya.
Konon, rangkaian kata yang menunjukkan nama Joj Bus tidak ada dalam kamus hantu lainnya, seperti kata kencing yang berarti hujan, inyik berarti penunggu, sedangkan datuk berarti harimau.
Seorang terpelajar di kampung tersebut menerjemahkan kata Joj Bus dengan sebutan George Bush, Presiden Amerika waktu itu. Jadi, Imah dihamili oleh pemimpin Negara besar tersebut. Tetapi pemuda ini cepat membantah dengan mengatakan bahwa membesarnya perut Imah belum tentu disebabkan oleh zinah, tetapi oleh penyakit atau katakannlah hamil anggur. Imah menyebut nama George Bush karena nama itu yang melekat di alam bawah sadarnya seiring dengan disebut-sebutnya Bush  dalam berbagai berita, terutama radio, antara lain, deisebabkan  keputusan Bush menyerang Irak untuk mengangkat pamor politiknya.
Keputusan penulis dalam menuangkan kisah konyol tersebut terkesan ampuh dalam mengalihkan keseriusan pembaca dalam menelaah banyak tulisan politik. Cerita jenaka politik tersebut, juga memberikan pesan bahwa politik tidak selamanya harus diseriusin, karena efek jenak juga bisa masuk kedalammnya.
Untuk memperkuat ceritanya, penulis menyisipkan pula kisah kerajaan Riau-Lingga yang sultannya menolak tunduk pada pemerintah Hindia Belanda (1800-an). Tak berhubungan memang, antara kisah si wartawan dengan Sang Sultan. Mungkin mengutip dari Kata Pengantar Penerbit, untuk menegaskan semangat kemelayuan roman ini.
Ya, aku ingat cerita anakku, tentang bagaimana setelah Kerajaan Sultan diserang tikad kurang dari 500 orang tentara Hindia Belanda, Sultan harus menandatangani perjanjian yang menunjukkan bahwa Riau-Lingga tunduk kepada Hindia-Belanda. Sultan telah berusaha menolaknya berkali-kali, kemudian seperti tanpa daya harus menuruti kemauan Hindia-Belanda setelah Istana Sultan dikepung dengan senjata api siap tembak. Tetapi, Sultan meminta waktu satu hari, ternyata kesempatan ini digunakannya untuk meninggalkan Riau bersama keluarga dan pengawalnya di tengah malam buta yang pekat.
Karena terpukul dengan kaburnya Sultan Riau-Lingga, Residen Hindia Belanda di Tanjungpinang, Bruinskops, merasa huruf-huruf yang ia tulis telah meninggalkan kalamnnya. Surat yang kesembilan belas kali ditulisnya itu diremasnya lagi. Digumpal dan dimasukkannya dalam tong sampah di kaki meja. Semua yang ditulisnya mengenai kepergian Sultan Riau-Lingga dari pulau Penyengat, sekaligus tidak menandatangani surat kontrak baru mengenai kedudukan Riau-Lingga sebagai wilayah pinjaman Hindia-Belanda, tidak muncul di kertas. Di lembaran agak kekuningan itu ia hanya melihat huruf yang seluruhnya “o”.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pengerahan tentara justru disambut Sultan dengan tindakan menghilang. Padahal sebenarnya ia tidak bernafsu memerangi Riau-Lingga secara militer, kecuali kalau memang Riau-Lingga menanggapi pendaratan sekita 500 orang tentara tersebut dengan senjata pula.
Setelah membaca kisah kerajaan Riau-Lingga yang sultannya menolak tunduk pada pemerintah Hindia Belanda (1800-an). Dapat kita ketahui, bahwa “aku” ingin menghubungkan kisahnya dengan kisah Ali Bukit, seorang kerabat terdekat Sultan yang memiliki pengaruh besar dalam alam Melayu. Ali Bukit menjadi salah satu orang yang  pernah diintrogasi pihak Residen Hindia Belanda, tetapi ia menjawabnya dengan suatu kesadaran sebagai manusia yang sedikit pun tidak berkaitan dengan pertanyaan Hindia Belanda. Ia bahkab secara panjang lebar mengkritik kata “firman” yang terdapat dalam konsep kontrak Hindia Belanda. Kisah tersebut sesuai dengan kisah “aku” yang juga rela tersiksa ketika disekap.
Dua belas orang penduduk Penyengat yang diintorgasi tidak tahu ke mana Sultan pergi atau mungkin saja mereka tidak bersedia memberi tahu kepergian Sultan. Mereka malahan berlagak bodoh yang tidak tahu apa-apa. Pukulan dan terjangan tidak membuka peti kata-kata mereka yang berkaitan dengan kepergian Sultan.
Residen menolak usulan tentara agar menangkap Ali Bukit, karena ia yakin tindakan tersebut akan mempermalukan Hindia Belanda sendiri. Jelas memang, Ali Bukit bermaksud mengenyahkan Hindia Belanda dari bumi Riau lewat aktivitasnya yang tertuang dalam buku-buku, kegiatan ekonomi, dan pidatonya, tetapi semuanya itu dilakukan tanpa meninggalkan bekas.
Bukankah pernah Ali Bukit diintrogasi selama delapan jam tahun lalu yang tidak menghasilkan apa-apa. Semua pertanyaan dijawabnya dengan suatu kesadaran sebagai manusia yang sedikit pun tidak berkaitan dengan Hindia Belanda. Ia bahkan secara panjang lebar mengkritik kata “firman” yang terdapat dalam konsep kontrak Hindia Belanda-Riau-Lingga sebagai suatu pengkhianatan bukan hanya terhadap kemanusian tetapi juga terhadap Islam. Ali Bukit terus saja bicara walaupun orang yang mengintrogasinya tidak mengerti terhadap ucapannya.
Banyak cerita dan kisah yang terus terdengar dan masuk ke pikiranku,  aku tak bisa tertidur apalagi istirahat, ditengah hiruk-pikuk musik semacam ini. Mungkin aku mendengar cerita dari seseorang. Tetapi kapan dan dimana? Di tempat ini? Aku coba mencari sesuatu dengan mataku, meskipun aku tahu hanya gelap mengakap saja yang akhirnya ku dapat. Setengah hatiku mengatakan bahwa mungkin aku tidak sendiri, tetapi ada orang lain dan orang itulah yang bercerita dalam tidurnya.
Kalau demikian halnya, tentu tempat orang itu tidak  jauh dari tempatku berada sekarang. Ya, tak mungkin orang itu berteriak dengan alas an kejauhan jarak denganku, karena bagaimanapun suaranya akan disembar musik berdentam-dentam, tad a dam tam…. Kalaupun berteriak dengan suara serupa, telingaku tidak menangkap demikian. Alat pendengaranku menangkap cerita itu dituturkan dengan nada datar. Suara musik yang seharusnya memekakan seperti terkuak oleh cerita itu.
Benar, seperti dikatakan sahabatku Dr Kamel, psikolog ternama itu, bukan aku dan anankku saja yang bercerita dalam tidur dengan cerita yang bersamaan dan sambung-menyambung pula. Cerita tentang suatu kerajaan yang berhadapan dengan Hindia-Belanda. Kalau tidak percaya, tanya pada Dr Kamel atau baca sendiri buku Hempasan Gelombang.
Sebaliknya aku berpikir, kalau ada orang lain, mengapa orang tersebut tidak menyahuti panggilanku. Penat aku memekik melolong memanggil sesuatu, tetapi yang kuterima hanya diam. Orang itu memerlukan umpan balik, tetapi bukan diriku. Sampai disini, aku teringat suara seseorang yang menggunakan bahasa yang aku tak mengerti : Zeg woula tertitaba ti tiu?
Asik bercengkrama dengan nyamuk yang terus menggerogotiku, bahuku pun terasa ada yang menyeretnya. Aku bertanya siapa mereka? Mereka tidak menanggapi, aku terus saja diseret, badanku sakit sekali. Ternyata mereka orang-orang yang bertopeng itu, yang sejak pertama kali aku ke tempat yang entah dimana ini aku hanya bertemu dengan orang-orang bertopeng. Yang jelas, selain bertopeng hitam, rambut merekapendek-pendek, badan tegap, dengan celana ketat, dan sepatu berkilat.
Aku beritahu mereka bagaimana karena rasa malu itu, Negara dapat mengesampingkan penderitaan rakyat. Oleh karena rasa malu tersebut, rakyat harus menyerahkan tanah mereka. Pada beberapa tempat memang, konon disediakan ganti rugi. Tetapi memanglah ganti rugi namanya karena harga tanah semester lebih murah dibandingkan sebatang rokok. Rakyatlah yang berada pada pihak yang rugi itu. Seharusnya Negara memikirkan bagaimana hak-hak rakyat tidak diambil, tetapi sebaliknya mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
Setelah berdebat dengan mereka tentang kepemilikan tanah yang sah milik rakyat, tiba-tiba saja rasa sakit di sekujur tubuhku menghilang. Jiwaku bergelora, melayang ke kampung Kahar. Demi atas nama pembangunan, penduduk di kampung Kahar harus diperkosa. Pembangunan seolah-olah menjadi kata terkutuk yang menanak sepanci dendam. Sungguh memilukan, bagaimana pembangunan itu sendiri dapat disimbolkan oleh sejumlah orang. Bagaimana mungkin mereka menamakan diri sebagai pembangunan, padahal pembangunan ingin menempatkan dirinya pada pemberdayaan umat.
Aku tak gentar  dituding sebagai komunis, karena tudingan seperti itu acapkali kudengar di tengah masyarakat. Dengan tudingan itu, mereka membungkam banyak warga. Sudah menjadi “merek dagang”, setiap apa-apa yang dilakukan masyarakat yang tidak berkenan di hati perut pemerintah, akan dicap komunis. Lihatlah Kahar, Sudin, Bakar, Adnan, Wahab, dan entah siapa lagi.
Tak beberapa lama setelah aku tiba kembali di tempat yang gelap mengakap ini, tubuhku dihujani berbagai pukulan. Darah mencucur dari hidung dan mulutku. Bagian muka hampir tak ada yang dapat kupegang lagi karena memar. Perih menancap di sekujur tubuh. Mengeluh pun aku merasa tak bisa, tak bisa, tak bisa. Maka sakitku pun terasa makin menjadi-jadi, melepah pada semua persendianku.
Ah, aku pun paham bahwa cerita sebenarnya tidak pernah berakhir, sama seperti kehidupanku. Setelah manusia pupus, cerita akan tetap ada, karena manusia hanyalah salah satu sumber cerita meskipun sumber yang utama. Maksud suara “Krio pasteula”, barangkali, bahwa penggal dari suatu cerita saja yang berakhir, yakni tugasnya sebagai cerita, kemudian melahirkan anaknya sebagai cerita-cerita lain, lalu bersama-sama pula melahirkan suatu cerita sebagai induk cerita yang lain pula. Begitu seterusnya walau waktu untuk semuanya itu amat beragam.
Saat seperti itulah aku merasa melihat sebuah pintu memanggil-manggil namaku. Sebuah pintu yang memiliki cahaya tanpa bercampur gelap, sehingga batas antara gelap dan cahaya  terlihat amat jelas. Barangkali karena takjub, sakit dihajar oleh seseorang atau beberapa orang tadi menyingkir dari tubuhku segera. Kakiku begitu saja melangkah ke pintu yang bercahaya. Tetapi belum sempat aku berpikir lebih jauh, tubuhku tersedot keluar, ke balik pintu. Langkah mundurku tertahan oleh desauan angin yang menerpa dari belakang.
Aku melihat begitu banyak pohon dan cahaya menghampiriku, oh indahnya alam kebebasan. Sampai di rumah, badanku terasa melayang-layang. Dua hari kemudian, aku mendengar kabar dari kawan serumahku bahwa dia pulang kampung ternyata karena dilamar orang. Aku tanyakan kebenaran ini kepada teman karibnya yang tetap mengatakan tidak tahu. Dengan menggunakan bus, aku segera tercancang di kampungnya.
Tidurku mungkin baru saja terlayang, ketika kudengar orang bercakp-cakap. Langsung saja, perasaan tertekanku bingkas lepas karena barangkali aku mungkin dapat berbagi perasaan dengan orang-orang itu. Cuma saja, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, aku tidak segera beraksi. Lebih baik aku menunggu, setidak-tidaknya mendengar apa-apa yang mereka bicarakan. Ya, hanya mendengar, itu pun di tengah suara musik yang berdentam-dentam, sementara mataku hanya dapat menangkap kegelapan. Aku dengar, mereka bicara cukup kuat, mungkin unbtuk melawan lalu lintas suara musik yang berselerak piak.
Mereka saling bercerita mengenai sesuatu yang bersifat nasional, mungkin mengenai transmigrasi dan kebijakan pemerintah lainnya. “Nasional mereka pahami yakni keseragaman yang dipaksakan, padahal yang seragam adalah abstrak” kata satu orang yang suaranya biasa saja. “Pendatang baru haruslah tunduk dengan tatanan yang ada pada wilayah yang didatanginya. Jika nanti, secara alamiah, tatanan pendatang berkawin dengan tatanan wilayah semula, itu namanya suatu dialogis yang melahirkan tatanan baru setidak-tidaknya bermatamorfosis. Itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi.” kata si suara serak.
Akhirnya, setelah terus mendengarkan pembicaraan mereka, tibalah cerita mereka mengenai wartawan yang memberi bantuan hokum kepada Kahar dan penduduk kampung. Aku menahan nafas mendengar kalimat tergantung yang mereka ucapkan. Tak salah lagi, akulah yang dibicarak orang-orang itu. Akulah si wartawan itu. Kini, aku tahu mengapa mereka menyekap dan menyiksaku, mereka tidak suka aku membantu masyarakat yang kehilangan tanahnya.
Setelah banyak bercerita mengenai kisah yang terdengar oleh tokoh “aku” sang penulis cerita kembali lagi menceritakan ulang mengenai kelanjutan kisah Kerajaan Sultan Riau-Lingga dan Hindia Belanda. Dimana pihak Hindia-Belanda sudah mulai mengetahui keberadaan Sultan.
Keesokan  paginya Kria mengatakan kepada isterinya bahwa mereka harus pindah ke Singapura. Perempuan ini sempat mempertanyakan sikap tersebut, tetapi cepat dipatahkan Kria dengan mengatakan bahwa di Riau-Lingga sekarang keadaan tidak menentu. Terlebih lagi Hindia belanda melalui agen-agennya di Singapura telah mengetahui posisi Sultan, bahkan bagaimana Sultan, keluarga, dan pengawalnya dapat melarikan diri.
Syahdan, aku begitu saja merasa berada pada sebuah perkampungan yang hiruk-pikuk. Orang-orang berlari seperti tak cukup tanah. Mereka menjerit, anak-anak menangis terpekik-terpekau. Dalam kebingungan, aku mengikuti arus orang-orang tersebut, ikut berlari yang tak kutahu kemana arahnya. Sebungkah tanah menyampuk langkahku, menyebabkan aku tersungkur. Untunglah sepotong tangan menyambar bajuku dan aku terangkat bersama ucapan terima kasih yang tak sempat kuucapkan.
Aku berlari bersama orang-orang tersebut, kulihat seseorang mengangkat telapak tangan dan kemudian mengebasnya ke arah pintu. Dengan serta merta aku keluar dari ruangan tersebut. Sampai di pintu, aku coba membelakangi badan untuk melihat orang yang sedari tadi berkata sambil membelakangi tubuhku. Ia masih tetap memandang keluar.Ketika mataku menangkap mobil berwarna hitam tercagak, baru aku percaya bahwa aku sudah berada di luar tempat yang gelap mengekap. Kini cahaya memelukku erat.

BAB III. HAL-HAL MENARIK DARI NOVEL

A.   Kelebihan Novel
Kelebihan novel ini adalah menarik, inspiratif dan bisa memotivasi kita dalam kehidupan sehari-hari. Dari alur ceritanya, kita bisa merasakan tokoh “aku” yang berharap untuk melepaskan diri dari sekapan  pihak keamanan yang ternyata terjadi dalam angan belaka tokoh “aku”. Selain itu, kita diajarkan bagaimana kegigihan seorang pejuang daerah yang ikhlas untuk disiksa demi memberikan bantuan kepada saudara serumpunnya dalam menghadapi penguasa. Kelebihan lain novel ini adalah kisah yang diangkat berasal dari kehidupan seorang jurnalis. Bagaimana ia membuat berita untuk menyampaikan kebenaran terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
B.   Kelemahan Novel
Kelemahan novel ini adalah masih adanya tulisan yang kurang dimengerti dan kurang menarik oleh pembaca karena bahasa yang digunakan masih ada yang berbahasa Melayu. Sebagai tambahan, ada beberapa paragraf dalam novel ini yang tidak layak untuk dibaca oleh anak usia 17 tahun kebawah karena memuat bacaan eksploitasi seksual. Sebagai contoh kalimat dari paragraf tersebut adalah “Aku lumat bibirnya yang tipis…”
C.   Unsur Bahasa
Barangkali karena  terlahir sebagai orang Melayu, Taufik Ikram Jamil, sejak awal kehadirannya di dunia sastra, rupanya telah memposisikan dirinya sebagai sastrawan Melayu. Ini bisa kita lihat dari karya-karyanya yang sangat berbau Melayu, seperti :  Tersebab Haku Melayu (kumpulan puisi - 1995). Baginya tentu akan lebih mudah menulis dengan pendekatan budaya, tradisi, dan kebiasaan yang telah sangat akrab dengannya, yaitu : budaya Melayu. Karya yang tercipta akan lebih terjiwai oleh kedekatan kultural tersebut. Contohnya roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang telah melegenda karena banyaknya kedekatan kultural yang tercipta. Pak Taufik menyebut fenomena tersebut sebagai sebuah sastra subkultur seperti dikutip dalam Kata Pengantar novel Gelombang Sunyi ini.
Tema yang diangkatnya tentang asam manis dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, di bawah sebuah rezim otoriter. Roman ini berbau politik yang menceritakan perlawanan orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan.
   
BAB IV. PENUTUP
A.   Kesimpulan
Penulis, Taufik Ikram Jamil bercerita tentang jurnalis yang disekap dalam ruang gelap yang mengakap akibat mengungkap pencaplokan tanah masyarakat oleh perusahaan besar. Beliau juga menceritakan perlawanan orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan dan terusir dari tanahnya sendiri. Tanpa disadarinya usahanya justru membuat dirinya tersekap. Penyiksaan yang teramat berat membuatnya pingsan berkali-kali karena dikurung dalam ruang gelap mengakap serta mendapat hantaman yang bertubi-tubi dari pihak keamanan yang membela cukong-cukong berkantong tebal. Kisah tersebut diakhiri dengan kesepakatan antara jurnalis dengan pimpinan keamanan yang sebenarnya hanya ada dalam angan si jurnalis belaka. Artinya, jurnalis itu mengalami ‘mati suri’ dan jiwanya meronta-ronta untuk bebas dari penderitaan tersebut.
Novel ini seakan menjadi curahan hati Pak Taufik tentang kondisi keterkinian Melayu. Beliau berpandangan bahwa Riau mengalami amnesia sejarah. Perlu diingat, sejarah bukanlah sekedar persitiwa masa lalu, tetapi memiliki filosofi tersendiri yang akan memberi banyak pengaruh terhadap jalannya suatu daerah pada masa akan datang. Dalam karyanya, beliau berusaha melayani tantangan  realitas dengan menunjukkan fakta-fakta sejarah tertentu dalam menjelaskan bagaimana bahasa hadir sebagai sebuah konstruksi sosial.
Peristiwa demi peristiwa yang ditawarkan dalam novel ini telah dirakit sedemikian rupa sehingga kita seekan terbawa ke dalam isi novel, bagaimana kita diajak untuk kembali mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kerajaan Riau-Lingga. Mungkin tidak hanya itu, novel ini juga memberikan kesadaran akan fakta.
Pak Taufik menuliskan novel ini dengan bahasa yang jernih dan lugas, bernuansa jurnalistik. Novel ini mengajarkan perlawanan-perlawanan yang harus dilakukan orang Melayu dalam memahami keadaan. Novel ini sekaligus memberikan gambaran romantisme watawan melayu dalam membungkam ketidakadilan pusat.
B.   Saran
Saran saya, novel ini sangatlah bagus dan berguna bagi semua kalangan untuk membacanya karena di dalamnya banyak dimuat kata motivasi dan inspirasi. Selain itu, banyaknya komplikasi cerita dan kisah masa lalu yang tertuang dalam novel ini membuat hati terkesan tak bosan untuk membaca kelanjutan ceritanya. Akan tetapi, pembaca harus perlu menelaah beberapa kata dan kalimat yang tak dimengerti yang disebabkan unsur Melayu yang kental dalam novel ini.
Perlu diperhatikan, dalam novel ini juga memuat sejumlah tesis lama tentang Melayu, dan juga membantah pemahaman umum tentang Melayu, yang dikembangkan oleh pemilik pemahaman yang dangkal. Oleh karena itu, beberapa kisah tentang kebrutalan penguasa terhadap daerah dalam novel ini juga mesti kita lihat dalam banyak sudut pandangan agar tercipta pemahaman positif terhadap karya penulis.



Daftar Pustaka
Jamil, Taufik Ikram. 2001. Gelombang Sunyi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ahira, Anna (2011). Beginalah Cara Meresensi Novel. From http://www.anneahira.com/meresensi-novel.htm  8 mei 2012
K004, Antara (2010). Gelombang Sunyi, Ketika Pembungkaman Melahirkan Sebuah Monolog. From http://www.antaranews.com/print/1290972969  9 mei 2012




0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Mas-Kas | Published by Templates Blog Gratis
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.