Soros dikenal memiliki kemampuan tinggi dalam berspekulasi di bidang perdagangan mata uang. Pada tahun 1982, dalam waktu singkat Soros berhasil meraup keuntungan 1,2 milyar dolar dalam perdagangan mata uang Poundsterling. Akibatnya, sebagian perekonomian Inggris hancur. Iapun dijuluki sebagai “Pria Yang Menghancurkan Pound” (The Man Who Broke the Pound). Pada pertengahan tahun 1997, perekonomian negara-negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Thailand, dan Malaysia, tergoncang hebat karena secara tiba-tiba harga tukar dollar melonjak tinggi. Ribuan perusahaan bangkrut dan jutaan orang menjadi penganggur.
Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini, namun salah satu sebab utamanya adalah perilaku para spekulan valuta asing yang telah memborong dollar Amerika, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga nilai mata uang negara-negara ASEAN itu terpuruk. Spekulan uang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.
Kebangkrutan berbagai industri di negara-negara ASEAN itu lalu dimanfaatkan oleh kapitalis Barat untuk membeli saham-saham di negara-negara tersebut dengan harga murah. Akibatnya, kini sebagian besar perusahaan penting di Indonesia adalah milik pengusaha asing. Pada tahun 2000, George Soros dilaporkan memiliki saham pada PT AGIS di Indonesia sebesar 10 persen dan beberapa perusahaan lainnya, termasuk Astra internasional.
Belakangan, untuk menghapus citra buruk dirinya, lewat jaringan yayasan yang dimilikinya, Soros berusaha menyisihkan sebagian kekayaan yang diperolehnya dari kegiatan spekulasi untuk membantu mengatasi dampak ‘kegagalan sistem pasar finansial global’ terhadap negara-negara miskin. Soros selalu menampilkan organisasi yang dipimpinnya itu sebagai organisasi yang melakukan aksi-aksi kemanusiaan di berbagai penjuru dunia. Soros juga melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia dan menyampaikan pidato-pidato berkenaan dengan demokrasi dan kebebasan. Menurut media massa Barat, Soros Foundation telah mengucurkan dana sebesar 4,2 milyar dolar untuk membantu fakir miskin di berbagai penjuru dunia.
Namun, bantuan itu tidak disalurkan lewat PBB dengan alasan bahwa Soros tidak mempercayai PBB. Karena itu, banyak pengamat politik yang meyakini bahwa langkah Soros Foundation untuk menyampaikan bantuannya secara langsung adalah untuk menyebarkan pengaruh dan infiltrasi di kawasan-kawasan yang diberi bantuan. Pada tahun 1997, seorang ilmuwan Bosnia mengungapkan bahwa di Bosnia, Soros dianggap sebagai pahlawan oleh sebagaian masyarakat negara muslim ini. Sebabnya adalah karena selama Perang Bosnia, Soros banyak mengucurkan bantuan finansial kepada rakyat Bosnia. Kemudian, setelah perang usai, Soros mendanai berbagai penerbitan media massa di negara itu. Media yang diterbitkan itu banyak memuat foto-foto amoral dan menyebarkan pemikiran kebebasan dan sekularisme.
Presiden Brazil, Lula da Silva, dalam KTT Ekonomi di Davos, Swiss, tahun lalu, mengatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan dunia, di antaranya lembaga keuangan milik Soros, merupakan penyebab krisis di negaranya. Presiden Brazil memang pantas marah terhadap Soros. Rakyat Brazil lainnya pun juga marah terhadap Soros karena kata-katanya yang menyinggung hati mereka dalam majalah Sao Paolo. Soros mengatakan,
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kepala negara-kepala negara di dunia ditentukan oleh AS. Dalam pemilu Brazil, kandidat yang menentang kebijakan kami, tidak boleh terpilih. Pada kenyataannya, bukanlah rakyat Brazil yang memberikan suara. Jika ada kandidat lain yang terpilih, Brazil akan berhadapan dengan krisis ekonomi yang besar. AS kini bagaikan Roma pada zaman dulu, yang merupakan rezim satu-satunya yang berhak untuk bersuara.
Namun anehnya, meskipun berperan sebagai sumber krisis keuangan di berbagai negara dan berhasil mengeruk milyaran dollar dari krisis itu, Soros pun aktif menulis buku-buku ilmiah mengenai perekonomian dunia. Di sini ia menempatkan diri sebagai pengamat dan memberikan saran-saran mengenai bagaimana seharusnya perekonomian dunia diatur sehingga negara-negara bisa keluar dari krisis ekonomi. Salah satu buku karya Soros berjudul Krisis Kapitalisme Global. Di dalamnya, Soros berusaha menunjukkan bahwa kapitalisme global sedang mengalami ujian dan ancaman yang sangat berat. Apabila hal ini tidak ditangani secara serius, suasana krisis akan akan menghantui perjalanan kapitalisme global. Dengan kata lain, meskipun sistem kapitalisme telah terbukti mengorbankan jutaan rakyat di dunia, namun Soros melalui bukunya ini berusaha terus menyebarkan sistem kapitalisme global yang memang terbukti telah membuat dirinya kaya raya.
Soros dan Krisis Moneter Asia
Beberapa bulan sebelum terjadinya krisis moneter 1997, seluruh dunia termasuk Bank Dunia dan IMF memuji-muji prestasi ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia. Bahkan ekonomi negeri ini disebut-sebut secara fundamental sehat dan kuat. Indonesia pun dijuluki sebagai “Macan Baru Asia” karena kemajuan pesatnya di bidang ekonomi. Namun ternyata, semua prestasi yang dibanggakan itu seperti tak ada artinya tatkala nilai tukar Rupiah, Ringgit, Bath, dll, terhadap Dolar AS jatuh terjerembab di bursa valas internasional. Efek dari jatuhnya mata uang negara-negara Asia Tenggara ini sangat luar biasa. Seperti kartu domino, mula-mula hanya berpengaruh terhadap sejumlah produk impor, tetapi kemudian menjalar ke berbagai sektor, melambungkan harga berbagai produk lokal, membangkrutkan ribuan perusahaan dan menganggurkan jutaan tenaga kerja.
Sebab awal terjadinya krisis ini memang jelas. Semua ini bermula dari permainan kotor yang dilakukan para spekulan mata uang internasional untuk menjatuhkan sejumlah mata uang di Asia. Salah satu spekulan yang bermodal kuat, dan karena itu paling berperan besar dalam terjadinya krisis ini, adalah George Soros melalui lembaga manajemen keuangan yang dimilikinya. Tak heran bila PM Malaysia saat itu, Mahatir Muhammad, menyatakan, George Soros harus bertanggung-jawab atas krisis moneter yang melanda beberapa negara Asia mulai kuartal kedua tahun 1997.
Selajutnya Mahatir menghubungkan globalisasi dengan krisis ini. Mahatir mengatakan, Setelah kita menerima globalisasi dan menerapkan kebebasan ekonomi di negara kita, ekonomi dan uang kita menjadi sasaran serangan kekuatan-kekuatan besar keuangan dunia dan orang-orang yang diuntungkan oleh sistem ini. Mahatir menambahkan, Hasil 40 tahun kerja keras bangsa Malaysia lenyap hanya dalam beberapa pekan akibat pekerjaan beberapa orang dan tidak ada hukum internasional apapun yang bisa dipakai untuk menghadapi orang-orang seperti ini.
PM Mahathir menegaskan, “Berdagang uang adalah perbuatan yang tidak bermoral. “Kenyataan memang menunjukkan bahwa perdagangan mata uang atau valuta asing cenderung merugikan yang lemah. Para spekulan uang tidak ragu-ragu mengguncang stabilitas suatu negara demi kepentingan mereka sendiri. Dalam kasus moneter di Indonesia, pertengahan tahun 1997 adalah masa ketika pembayaran hutang perusahaan-perusaaan swasta jatuh tempo dengan jumlah sekitar 8 juta dollar. Belum lagi bila diperhitungkan utang BUMN yang juga jatuh tempo dan kewajiban pemerintah untuk membayar cicilan utang dan bunganya yang cukup besar, yaitu sekitar 6 miliar dolar. Artinya, pada masa itu, kebutuhan terhadap dollar meningkat. Pada saat itulah, para pedagang uang memborong dollar dan kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Akibatnya, ribuan perusahaan di Indonesia bangkrut, harga-harga melambung tinggi sehingga jumlah rakyat miskin meningkat tajam, dan pemerintah Indonesia kini terbebani hutang sebesar 1500 trilyun rupiah.
ETIKA BISNIS SOROS
Meskipun letak kesalahan tidak seratus persen berada di tangan Soros, karena jatuhnya nilai rupiah ini juga dipengaruhi oleh sistem devisa bebas yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk memperdagangkan valuta asing, namun etika bisnis yang dianut oleh Soros dan para pedagang valas lainnya patut dipertanyakan. Ketika Soros melakukan transaksi valas, dia sudah bisa memprediksikan kehancuran negara-negara Asia sebagai akibat dari transaksi itu. Namun, ia tetap melakukannya dan terjadilah krisis hebat yang menyengsarakan puluhan jutaan rakyat Asia Tenggara. Tak heran bila mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad pernah menyatakan kecurigaannya bahwa krisis moneter yang menyapu Asia ini adalah sebuah agenda Yahudi karena kaum Yahudi, kata Mahathir, tidak senang bila melihat kaum Muslim bergerak maju.
Perdagangan valas yang dilakukan Soros telah memberi keuntungan kepadanya sebesar satu milyar dollar pertahun. Artinya, demi menambah jumlah uangnya, Soros dengan tega telah mengorbankan puluhan juta rakyat di berbagai negara. Menanggapi berbagai kecaman yang disampaikan terhadapnya, Soros menyatakan bahwa kesalahan terletak pada pemerintahan yang tidak transparan dan despotik di negara-negara Asia. Menurut Soros, pasar akan menentukan dirinya sendiri. Artinya, bisnis yang dia lakukan hanya semata-mata memenuhi peluang pasar. Padahal, pasar global sesungguhnya tidak bebas, melainkan diatur oleh para pemodal kelas kakap semacam Soros.
Sebagian pengamat ekonomi yang membela Soros mengatakan bahwa apa yang dilakukan Soros adalah bisnis semata dan toh, Soros juga memberikan sebagian uangnya untuk membantu rakyat miskin di berbagai negara. Pandangan ini menunjukkan bahwa Soros Foundation telah memberikan citra baik kepada Soros, sehingga bisa mengurangi berbagai kecaman yang dialamatkan kepada dirinya. Atas aktivitas yayasannya tersebut, Soros juga dijuluki sebagai filantropis atau orang yang mencurahkan perhatian, waktu, dan uangnya untuk menolong orang lain.
Namun, kegiatan Soros membantu rakyat miskin dengan bisnisnya di bidang perdagangan uang yang telah memiskinkan puluhan juta manusia, jelas merupakan sebuah paradoks. Sudah pasti ada tujuan tersendiri di balik bantuan-bantuan yang diberikan Soros melalui yayasan Soros Fundation-nya. Sebagaimana kami sebutkan pada pertemuan sebelumnya, di Bosnia, Soros mendanai penerbitan media massa yang memuat foto-foto amoral dan menyebarkan pemikiran kebebasan dan sekularisme.
Soros dan Revolusi Beludru Georgia
Kawasan Kaukasus dan Asia Tengah merupakan kawasan yang menjadi pusat aktivitas Soros Foundation selama beberapa tahun terakhir. Aktivitas yayasan ini di Georgia menjadi pusat perhatian dunia sejak terjadinya transformasi politik di negara itu pada bulan November 2003. Krisis di Georgia berawal dari penyelenggaraan pemilihan anggota perlemen tanggal 2 November 2003. Dalam pemilu tersebut, pemerintah di bawah kepresidenan Eduard Shevardnadze dicurigai melakukan kecurangan, sehingga menimbulkan aksi demonstarsi besar-besaran. Demonstrasi besar yang dipimpin oleh Mikhail Saakashvili, ketua Partai Gerakan Nasional ini, akhirnya berhasil memaksa Presiden Shevardnadze mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 22 November 2003. Pergantian kekuasaan ini berjalan damai dan tidak ada korban jiwa, sehingga disebut sebagai Revolusi Beludru. Pada awal tahun 2004, kembali diadakan pemilu, dan Mikhail Saakashvili, terpilih sebagai presiden baru Georgia.
Setelah mengundurkan diri, Eduard Shevardnadze melakukan berbagai langkah untuk mengungkapkan peran Soros Foundation di balik krisis politik di negaranya itu. Menurut Shevardnadze, Soros telah mengucurkan dana beberapa juta dolar untuk mendukung aksi penyingkiran Shevardnadze dari jabatannya. Shevardnadze mengatakan, Saya tidak bisa menyebutkan negara-negara mana saja yang mendukung kerusuhan yang terjadi bulan November itu, namun bisa diyakini, kelompok-kelompok internasional semacam Soros Foundation merupakan pendukung dana dari aksi itu. Tujuan Soros Foundation adalah menciptakan situasi seperti di Yugoslavia, yang pada tahun 2000, gerakan-gerakan demonstrasi massa telah berhasil menyingkirkan Slobodan Milosevic dari jabatannya sebagai presiden.
Selain itu, Shevardnadze juga menuduh Richard Miles memiliki peran penting di balik penggulingan dirinya. Kecurigaan atas peran AS mulai tampak pada pembatalan kunjungan Collin Powell ke Georgia pada tanggal 16 Mei 2003. Pada musim panas 2003, Shevardnadze yang mulai mencurigai Richard Miles, meminta kepada Presiden Bush agar menarik pulang Dubes AS itu, namun permintaan ini ditolak Bush. Pada saat yang sama, pemerintahan Shevardnadze menghadapi jatuh tempo pembayaran hutang negara, namun IMF yang memiliki kaitan erat dengan Soros Foundation, menolak memberikan bantuan keuangan. Pada bulan November, terjadilah demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah yang berujung pada pengunduran diri Shevardnadze.
Tuduhan yang dilemparkan Shevardnadze itu didukung oleh berbagai bukti. Pertama, Soros sendiri pernah menyatakan bahwa dirinya telah mengeluarkan uang jutaan dollar untuk menggulingkan pemerintahan Shevardnadze. Kedua, dalam pemerintahan Georgia yang baru terbentuk, empat di antaranya, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Menteri Urusan Pemuda, adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan George Soros. Keempat orang ini sebelumnya bekerja untuk Soros Foundation. Selain itu, Soros juga pernah melakukan pertemuan dengan Presiden Mikhail Saakashvili di Davos, Swiss, dan menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan kepada pemerintahannya. Dalam menjustifikasikan perbuatannya, Soros menyatakan, Jutaan dolar uang yang telah dikeluarkan akan melahirkan milyaran sejarah.
Tiga Organisasi Yang Berperan Dalam Penggulingan Shevardnadze
Bokeria, ketua Liberty Institute yang menerima bantuan dana dari Institut Masyarakat Terbuka Soros, mengatakan ada tiga organisasi yang memainkan peran kunci dalam penggulingan Shevardnadze, yaitu Partai Gerakan National, stasiun televisi Rustavi-2, dan sebuah organisasi kaum muda yang bernama Kmara. Organisasi pemuda ini mendeklarasikan perang terhadap Shevardnadze pada bulan April 2003 dan memulai kampanye melalui poster dan graffiti untuk mengkritik korupsi yang dilakukan pemerintah.
Ketiga organisasi itu memiliki hubungan dengan George Soros. Menurut laporan media massa Georgia, Kmara menerima 500.000 dolar untuk mendanai aksi-aksi mereka. Sementara itu, televisi Rustavi-2 menerima dana awal peluncuran siarannya pada tahun 1995. Televisi inilah yang memprovokasi massa dengan cara menyiarkan hasil pemilu sesuai penghitungan yang dilakukan suatu LSM AS, yang berlawanan dengan hasil penghitungan resmi pemerintah.
Pemimpin Partai Buruh Georgia, Gela Daneliya, pada konferensi pers di Tblisi, ibukota negara ini, pada tanggal 17 Januari 2004, menyatakan bahwa Georgia telah menjadi korban Sorosization. Pernyataan ini dikeluarkan Daneliya menanggapi penunjukan Irakly Rekhviashili sebagai Menteri Ekonomi, Industri, dan Perdagangan. Padahal, menurut Daneliya, Rekhviashili baru berusia 28 tahun dan lebih banyak menghabiskan umurnya di luar negeri. Rekhviashili adalah orang dekat Soros dan diserahi jabatan penting itu pada hari ketika ia tiba di Georgia.
Namun demikian, masuknya Soros ke Georgia justru karena kesalahan Eduard Shevardnadze sendiri. Pada awal dekade 1980-an, Shevardnadze giat menjalin hubungan dekat dengan Soros dan pemerintahan negara-negara Barat. Shevardnadze sendirilah yang mengundang Soros untuk mendirikan Institut Masyarakat Terbuka atau Open Society Institute di Georgia. Namun, setelah mundurnya Mikhail Saakashvili dari jabatannya sebagai menteri kehakiman, hubungan antara Soros dan Shevardnadze menjadi dingin. Mikhail Saakashvili inilah yang kemudian menggalang demonstrasi anti Shevardnadze dan kini menjabat sebagai Presiden Georgia.
Pada pertengahan tahun 2002, Shevardnadze secara terbuka memulai kritikannya terhadap campur tangan Soros dalam urusan politik dalam negeri Georgia. Soros kemudian mengadakan konferensi pers di Moskow dan menyatakan bahwa pemerintahan Shevardnadze tidak bisa dipercaya dalam pelaksanaan pemilu parlemen yang akan dilakukan tahun 2003. Soros bahkan mengatakan, Sangat perlu dilakukan mobilisasi masyarakat sipil untuk menjamin kebebasan dan kejujuran pemilu, karena banyak kekuatan yang telah ditugaskan untuk memanipulasi pemilu. Inilah yang kami lakukan di Slovakia pada masa pemerintahan Meciar, di Kroasia pada masa pemerintahan Tudjman, dan di Yugoslavia pada masa pemerintahan Milosevic. Dengan demikian, Soros secara eksplisit memang mengakui campur tangan yang dilakukannya atas urusan politik berbagai negara.
SOROS DI AZERBAIJAN
Republik Azerbaijan adalah salah satu negara di wilayah Kaukasus yang dijadikan terget kegiatan Soros Foundation, segera setelah runtuhnya Uni Soviet. Hal ini memiliki beberapa alasan, antara lain karena Republik Azerbaijan adalah satu-satunya negara muslim di Kaukasus dan memiliki sumber daya alam yang kaya, sehingga Azerbaijan bisa disebut sebagai negara terkaya di Kaukasus. Bersamaan dengan naiknya Haydar Aliyev ke kursi kepresidenan, Soros Foundation pun memperluas aktivitasnya di negara ini dengan mendirikan Open Society Institute atau Institut Masyarakat Bebas.
Hingga kini, Institut Masyarakat Bebas yang dimiliki oleh Soros Foundation telah mengucurkan dana sebesar 20 juta dolar untuk mendanai berbagai kegiatan mendia massa dan LSM di Azerbaijan. Farda Asadov, Direktur Eksekutif di Institut Masyarakat Bebas Azerbaijan, menyatakan bahwa pengeluaran yayasan ini pada tahun 2003 lalu adalah sebesar 3 juta dolar. Lima belas persen dari jumlah itu digunakan untuk bidang propaganda, 24 persen di bidang pendidikan, 50 persen untuk memberbaiki tatanan sosial, dan 16 persen untuk keperluan administrasi. Secara umum, 72 persen bantuan dana dari institut ini diberikan kepada lembawa swadaya masyarakat atau LSM, dan 28 persen diserahkan kepada lembaga pemerintah Azerbaijan.
Meskipun kegiatan Soros Foundation semakin meningkat sejak masa pemerintahan Haidar Aliyev, namun akhirnya Presiden Azerbaijan ini melemparkan kritikan kepada yayasan ini karena ikut campur dalam krisis Karabakh. Menurut Aliyev, daripada membantu para pejuang separatis Karabakh, Soros sebaiknya memberikan bantuan kepada para pengungsi perang Karabakh. Menjawab kritikan ini, George Soros menyatakan bahwa adalah terserah baginya untuk memberikan bantuan kepada siapa saja. Soros bahkan menjanjikan bantuan enam juta dolar kepada etnis Armenia di Karabakh yang ingin memisahkan diri dari Azerbaijan serta mendirikan kantor perwakilan di sana.
Setelah terjadinya penggulingan Presiden Georgia yang didalangi oleh Soros Foundation, pemerintah Azerbaijan pun semakin mengkhawatirkan kinerja yayasan tersebut di negaranya. Apalagi, pada tahun 2005, di Azerbaijan akan dilangsungkan pemilu parlemen. Aqil Abasov, pemimpin redaksi majalah Keadilan di Azerbaijan, menyatakan bahwa Soros Foundation dengan melakukan berbagai permainan politik berencana untuk menginfiltrasi pemerintah. Sebagian pejabat partai berkuasa di negara itu juga menyuarakan kekhawatiran mereka atas gerak-gerik yayasan ini. Tak lama kemudian, dimulailah gerakan propaganda anti-Soros di Azerbaijan.
Kini, ketika pemilu parlemen semakin mendekat, aktivitas Soros Foundation menjadi terbatas. Namun setelah Presiden Ilham Aliyev, yang menggantikan ayahnya, Haidar Aliyev, mengadakan pertemuan dengan Soros di sela-sela sidang Majelis Umum PBB, kegiatan Soros Foundation kembali meningkat. Pada bulan Desember 2004, yayasan ini merekrut pegawai-pegawai baru yang berasal dari kelompok non-Syiah dan mendirikan media massa. Melalui media massa ini, praktik-praktik korupsi pemerintah dibesar-besarkan dan hal ini mirip dengan langkah yang diambil Soros di Georgia.
Pada akhir tahun 2004, Institut Masyarakat Bebas Azerbaijan juga meluncurkan terjemahan buku berjudul Korupsi dan Pemerintah dalam bahasa Azari, yang ditulis oleh Susan Rose-Ackerman. Dalam buku ini dibahas secra terperinci mengenai pemilu dan skandal-skandal yang meliputinya. Peluncuran terjemahan buku ini oleh Soros Foundation tentu bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang cukup jelas adalah untuk menggalang opini masyarakat Azerbaijan agar mencurigai pemerintah mereka sendiri. Sebagaimana kita bahas dalam bagian ke-3, langkah yang diambil Soros di Georgia adalah dengan mempengaruhi opini rakyat, sehingga rakyat Georgia mengadakan demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah. Akhirnya, Presiden Shevardnaze pun mengundurkan diri.
Menanggapi berbagai kritikan yang diarahkan kepada Soros Foundation di Azerbaijan, Fuad Sulaimanov, salah seorang juru bicara yayasan ini mengklaim bahwa Soros Fundation tidak pernah melakukan aktivitas untuk mengubah pemerintahan di negara manapun dan hanya bergerak di bidang perluasan demokrasi, peningkatan pengetahuan masyarakat, serta menjaga ketransparansian pemilu. Pernyataan Sulaimanov ini jelas bertentangan dengan fakta bahwa Soros Foundation bekerjasama dengan Kedubes AS di Azerbaijan telah mengirim sejumlah oposan pemerintah Azerbaijan ke Ukrainma, untuk mempelajari revolusi di negara tersebut. Seperti diketahui, di Ukraina pada akhir tahun 2004 terjadi demonstrasi besar-besaran menentang hasil pemilu. Akhirnya, dilakukan pemilu ulang yang dimenangkan oleh Viktor Yushchenko yang didukung oleh AS.
Selain mencampuri urusan politik dalam negeri Azerbaijan, Soros Fundation juga aktif dalam menghancurkan sendi-sendi keagamaan masyarakat. Suratkabar Ulayelar yang terkait dengan Kementerian Keamanan Nasional Azerbaijan, baru-baru ini mengungkapkan usaha Soros Foundation untuk menyebarluaskan narkotika dalam kedok program pemberantasan narkotika. Suratkabar ini dalam sebuah makalah berjudul Baku Dalam Jebakan Heroin, menulis, Soros Foundation pada tahun antara 2001 hingga 2003 menyusun sebuah program rahasia sebanyak 63 halaman berkaitan dengan penyebaran narkotika. Program penyebarluasan narkotika oleh Soros Foundation untuk pertama kali terungkap di Rusia dan sejumlah pelaksana program tersebut telah ditangkap.
Selanjutnya, suratkabar Ulayelar juga menulis bahwa Soros Foundation di Azerbaijan memiliki program-program infiltrasi terhadap sekolah, pusat keilmuan dan penelitian, penjara, dan rumah sakit. Bahkan, yayasan ini berusaha memasukkan pandangan mereka dalam buku-buku pelajaran sekolah di Azerbaijan, yang jelas bertentangan dengan kepentingan negara tersebut.
SOROS DI ARMENIA
Meskipun kegiatan Soros Foundation di Armenia, di bawah bendera Institut Masyarakat Bebas atau Open Society Institute, masih belum banyak terungkap, namun pola-polanya tidak jauh berbeda dengan kegiatan yayasan ini di negara-negara Kaukasus lain. Armenia adalah pangkalan militer Rusia terpenting di Kaukasus. Hal ini menjadikan Armenia memiliki posisi penting yang membuat AS mengkhawatirkan eratnya hubungan antara Armenia dan Rusia. Dalam usaha menginfiltrasi Armenia, AS menggunakan berbagai cara, di antaranya melalui propaganda media massa. Pada tahun 2004, Institut Masyarakat Bebas berhasil menyebarkan ide-idenya di bidang media massa dengan disahkannya UU baru Armenia terkait dengan media massa.
Tak lama kemudian, berbagai media massa menyebarkan propaganda mengenai situasi buruk di Armenia, dengan tujuan menggerakkan opini rakyat negara ini untuk menentang pemerintah mereka. Selain itu, Soros Foundation, sebagaimana di negara Kaukasus lain, juga memberikan bantuan dana kepada LSM-LSM dengan tujuan yang sama, yaitu menggalang opini rakyat untuk menentang pemerintah. Salah satu LSM yang mendapat dukungan dana dari George Soros adalah International Crisis Center (ICG).
Pada akhir tahun 2004, ICG mengeluarkan laporan sebagai berikut. Armenia yang meraih kemerdekaan pada tahun 1991 dan memenangkan perang tahun 1992-1994 dengan Azerbaijan, saat ini sedang berada dalam masa damai dan tengah membangun perekonomiannya. Namun, kestabilan negara ini terhitung rapuh. Nagorno-Karabakh masih tetap menjadi problem yang belum terselesaikan yang dengan mudah dapat kembali meletus. Korupsi dan pelanggaran terhadap proses demokrasi telah meresahkan masyarakat, yang setengahnya masih hidup di bawah garis kemiskinan…. Pihak-pihak donor harus lebih menekan negara ini agar terjadi reformasi demokrasi dan pemerintahan yang baik… Kesempatan untuk menyampaikan kehendak politik secara bebas masih sangat terbatas.
Berbagai usaha propaganda media massa dukungan Soros Foundation mulai terlihat hasilnya ketika pada akhir tahun 2004, terjadi demonstrasi besar di Armenia yang didalangi oleh kelompok oposisi. Isu yang digunakan oleh klompok oposisi Armenia sama seperti yang dilakukan para oposan Georgia ketika akan menggulingkan Presiden Shevarnadze, yaitu kecurangan dalam pemilu. Merekapun menuntut Presiden Armenia, Robert Kacharyan, untuk mundur dengan alasan dia telah terpilih melalui pemilu yang curang.
Indikasi bahwa kelompok oposisi Armenia mendapat dukungan dari Soros Foundation tampak pada laporan suratkabar AZG yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2003, sejumlah tokoh oposisi Georgia, di antaranya Mikhail Saakashvili, telah berkunjung ke Beograd, Yugoslavia. Dalam kunjungan yang didanai Soros Foundation ini, para tokoh oposisi Georgia itu memepelajari cara-cara kudeta yang telah menggulingkan Presiden Slobodan Milosevic. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh oposisi Armenia juga dikirim ke Beograd dan bisa dipastikan, tujuan kedatangan mereka ke sana adalah juga untuk mempelajari kudeta yang terjadi di Yugoslavia.
Namun demikian, usaha Institut Masyarakat Bebas atau Soros Foundation untuk menggulingkan Presiden Armenia, Robert Kacharyan, hingga kini masih belum berhasil. Apalagi, ada pula faktor Rusia yang mempengaruhi. Bagi Rusia, Armenia adalah posko terakhirnya di Kaukasus, setelah negara-negara Kaukasus lainnya berpihak kepada Barat. Rusia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pemerintahan Robert Kacharyan. Hubungan erat antara pemerintah Armenia dengan Rusia ini dijadikan sebagai isu utama oleh kaum oposan. Mereka menuduh pemerintahan Kacharyan mengekor Rusia.
Usaha AS untuk menggoyang pemerintahan Kacharyan tidak hanya melalui tangan Soros Foundation, melainkan juga dengan mengirimkan duta besar baru untuk Armenia, yaitu John Evans. Sebagaimana yang terjadi di Georgia dan Ukraina, Kedutaan Besar AS sangat berperan dalam menggalang demonstrasi massa yang akhirnya menyebabkan presiden di kedua negara itu terguling. Apalagi, AS juga melakukan langkah yang mencurigakan di Armenia dengan membangun gedung kedutaan AS terbesar di dunia. Menurut situs berita Pravda, gedung kedubes AS yang baru itu dibangun di atas tanah seluas 9 hektar.
Duta besar AS untuk Armenia, John Evans, akhir-akhir ini secara teratur mengadakan pertemuan dengan para tokoh partai-partai oposisi. Penunjukan John Evans sebagai Dubes baru AS untuk Armenia juga patut dicurigai karena dia dikenal sebagai mentor politik Richard Miles, Duta Besar AS untuk Georgia yang sangat berperan penting dalam Revolusi Beludru di Georgia. Itulah sebabnya, pada tahun 2004, pemerintah Armenia menolak memberikan visa kepada Richard Miles. Pemerintah Armenia bahkan memerintahkan Direktur Badan Keamanan Nasional untuk menemukan semua orang yang pernah mengikuti pendidikan di Bosnia pada tahun 2003-2004 atas biaya AS dab Soros Fpundation. Selain itu, pemerintah Armenia juga melakukan pengawasan ketat terhadap gerak-gerik Soros Foundation di negara ini.
Bila kita melihat latar belakang mantan Presiden Georgia, Eduard Shevarnadze dengan Presiden Armenia, Kacharyan, kita akan menemukan kesamaan kasus, yaitu mereka sama-sama menjalin hubungan yang erat dengan Rusia. Meskipun Shevarnadze terlihat pro-Barat, namun ia telah menandatangani perjanjian 25 tahun jual-beli gas dengan Rusia. Akibatnya, George Soros yang semula berhubungan baik dengan Shevarnadze, malah berbalik mendalangi penggulingannya. Presiden Armenia pun kini menjalin hubungan erat dengan Rusia. Hal ini jelas bertentangan dengan kehendak AS, dan sangat mudah ditebak bahwa AS dengan berbagai cara akan berusaha menggulingkan Presiden Armenia dan mendudukkan presiden baru yang bersedia menurut pada kehendak AS. Namun yang jelas, hingga kini, rakyat Armenia masih menolak untuk menyerahkan tanah air mereka kepada imperialisme AS.
SOROS DI RUSIA
Kehadiran Soros Foundation di Rusia sudah dimulai sejak masa pemerintahan Gorbachev. Institut Masyarakat Bebas mulai beraktivitas di Moskow sejak tahun 1987. Bahkan, yayasan inilah yang memainkan peran penting dalam menyebarluaskan ideologi pro-Barat dan slogan-slogan demokrasi, yang berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet. Beberapa waktu yang lalu, Alexander Goldavarop (?), mantan Direktur Soros Foundation di Rusia, mengatakan, Saya hampir sepuluh tahun bekerjasama dengan George Soros dan selama waktu itu, saya membelanjakan uang Soros sebesar 130 juta dolar untuk membantu reformasi di Rusia, memperlancar proses pergantian dari sistem komunis ke sistem demokrasi liberal, serta membangun masyarakat yang bebas.
Soros Foundation lebih banyak menggunakan uangnya di Rusia untuk menanamkan modal di bidang media massa. Dari 56 juta dolar dana yang ditanamkan di Rusia tahun 2000 oleh Soros Foundation, 18 juta dolar di antaranya digunakan untuk mendirikan jaringan berita dan 5 juta dolar untuk mendukung surat kabar-suratkabar dan televisi-televisi pro-Barat. Dalam buku yang ditulis sendiri oleh Soros tahun 1990 berjudul Membuka Pemerintahan Soviet, Soros menyampaikan ide-idenya tentang pembentukan pemerintahan yang bebas, sehingga berbagai perusahaan dapat melakukan aktivitas keuangan di luar kontrol pemerintah.
Dalam rangka mengikis sistem komunis di Rusia, Soros Foundation juga bekerjasama dengan LSM-LSM bentukan Barat, di antaranya NED atau Bantuan Nasional untuk Demokrasi. NED didirikan tahun 1983 oleh Presiden AS saat itu, Ronald Reagan. NED memiliki program bernama Proyek Pemindahan Demokrasi yang bekerjasama dengan Soros Foundation, dengan tujuan untuk mempercepat proses reformasi di negara-negara sosialis. Salah satu hasil dari proyek ini adalah pembentukan organisasi pemuda di Yugoslavia bernama Otpor. Organisasi pemuda Serbia ini sangat berperan dalam menggalang demonstrasi tanggal 5 Oktober 2000 yang berhasil menggulingkan Presiden Slobodan Milosevic.
Menurut berbagai laporan, Soros Foundation bersama NED pada tahun 2000 telah memberikan bantuan keuangan kepada 38 LSM di Rusia. Pada tahun 2002, kedua lembaga ini memberikan bantuan sebesar 1,4 juta dolar kepada 33 organisasi pembelaan HAM. Melalui berbagai LSM ini, kedua lembaga ini berusaha menyebarkan ide-ide demokrasi ala Barat dan menciptakan opini anti-pemerintah. Usaha mereka untuk menggulingkan pemerintahan Vladimir Putin yang dipilih oleh 80 persen rakyat Rusia ini, hingga kini masih belum berhasil.
SOROS ANGKAT KAKI DARI RUSIA
Namun tiba-tiba, pada bulan Juni 2003, Soros memutuskan untuk menghentikan misinya di Rusia. Harian The Washington Post menulis bahwa alasan resmi yang disampaikan Soros dalam menutup cabang Soros Foundation di Rusia adalah karena dalam pandangannya, Rusia telah mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan lagi subsidi darinya. Soros mengatakan, Saya telah mengeluarkan uang yang sangat banyak di Rusia dan saya pikir, kini sudah tidak pada tempatnya lagi bagi saya untuk terus mengeluarkan uang di sini. Russia adalah negara yang telah kembali tegak dan tidak memerlukan subsidi saya.
Selama 15 tahun beraktivitas di Rusia, Soros diberitakan telah mengeluarkan uang sekitar 1 milyar dollar. Uniknya, dalam artikel yang sama, The Washington Post menulis bahwa bentuk bantuan yang dilakukan Soros Foundation di Rusia, selain membantu perluasan internet di universitas dan menyusun buku-buku sejarah dengan sudut pandang yang berbeda, adalah juga menyediakan jarum yang bersih bagi para pengguna narkotika!
Fakta bahwa Soros menyebarluaskan narkotika di Rusia juga diungkapkan oleh Doktor Vera Butler. Dalam situs Free republic Doktor Vera Butler menulis, Sudah sangat jelas bahwa aktivitas Soros tidak terbatas pada Rusia. Garis kebijakannya didasarkan pada prinsip yang dianutnya. Dia adalah agen dari pemerintahan global, bukan pemerintahan regional. Soros telah mendirikan sebuah sistem keuangan dan organisasi, serta mempromosikan legalisasi bagi penggunaan narkotika, aborsi, euthanasia. Langkah yang diambil Soros ini bisa dipahami sebagai bagian dari cita-cita kaum Zionis di bawah nama Tatanan Dunia Baru. Membuat masyarakat menjadi lemah dan lumpuh adalah cara terpenting agar dapat menguasai masyarakat tersebut. Dalam kasus Rusia, melemparkan generasi muda ke dalam jeratan pengedar narkotika tidaklah sama dengan melegalisasi kecanduan obat di negara-negara Barat yang makmur. Di Rusia, memberikan akses bebas terhadap narkotika adalah sama dengan pembunuhan massal terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, DR. Vera Butler menulis bahwa salah satu proyek yang dilakukan oleh Institut Masyarakat Bebas milik Soros adalah mengenalkan sikap toleransi di kalangan pelajar sekolah menengah Rusia. Namun, toleransi yang diperkenalkan di sini adalah toleransi atas semua hal, termasuk hal-hal yang menurut budaya Rusia adalah hal-hal yang tabu dan tidak layak dilakukan. Hal ini jelas merupakan langkah untuk menyebarluaskan paham kebebasan tanpa batas dan sikap-sikap amoral di Rusia.
Meskipun ketika Soros menutup yayasannya di Rusia, dia mengatakan bahwa Rusia telah mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan lagi bantuan dari yayasan ini, namun setelah itu, Soros berkali-kali menyampaikan kritikan terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin. Misalnya, pada awal tahun 2005, dalam wawancara dengan koran Austria Die Presse, Soros menyatakan bahwa Rusia tidak menjalankan demokrasi dan karena itu, AS dan Uni Eropa harus mempertimbangkan keanggotaan Rusia dalam kelompok G-8. Menurut Soros, anggota kelompok G-8 haruslah negara yang menjunjung demokrasi dan karenanya, Rusia harus dicoret dari kelompok tersebut.
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan alasan yang dikemukakan Soros ketika menutup yayasannya. Karena itu, analisis sesungguhnya dari penutupan Soros Foundation di Rusia adalah karena besarnya tekanan pemerintah Rusia yang tidak menghendaki kehadiran yayasan tersebut dan pada saat yang sama, adanya tekanan dari pemerintah Bush. Menurut harian The Washington Post, pemerintah Bush memang merekomendasikan agar Soros menghentikan bantuannya terhadap Rusia karena ternyata pemerintah Rusia tetap tidak mau tunduk pada kehendak AS. Dengan kata lain, di mata Bush, penghamburan uang di Rusia sia-sia saja karena pemerintahan Putin tetap tidak tergoyahkan dan Rusia tetap menolak didominasi oleh AS.
Apapun juga alasan di balik penutupan Soros Foundation di Rusia, namun yang jelas ditutupnya yayasan itu merupakan hal yang positif bagi masyarakat Rusia. Karena, di balik slogan-slogan penyebaran demokrasi dan bantuan sosial, Soros Foundation sesungguhnya berusaha untuk mencampuri urusan dalam negeri Rusia, termasuk menyebarkan amoralitas di sana. Apalagi, sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, penggulingan kekuasaan di Georgia, Ukraina, dan Yugoslavia terjadi karena peran Soros Foundation. Tak heran bila pemerintah Uzbekistan dan Belarus mengambil langkah tegas dengan menghentikan aktivitas organisasi ini di negara mereka.
Ada Apa Di Balik Intervensi Soros di Kaukaus dan Asia Tengah?
Selain negara-negara Kaukasus seperti Georgia, Azerbaijan, Armenia, dan Ukraina, negara-negara Asia Tengah juga menjadi target kegiatan Soros Foundation. Pada awal tahun 2004, George Soros mengeluarkan pernyataan bahwa ia ingin agar revolusi di Georgia kembali terulang di lima negara Asia Tengah. Kelima negara Asia Tengah yang dimaksudkan Soros adalah Tajikistan, Kirkizistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Untuk itu, selama tahun 2003, Soros Foundation telah mengucurkan dana sekitar 20 juta dolar bagi aktivitas Institut Masyarakat Bebas di kelima negara tersebut. Tujuan utama pemberian dana sebesar itu adalah untuk memperkuat posisi kelompok-kelompok pro-Barat yang anti pemerintah.
Kini, muncul pertanyaan, apakah alasan sesungguhnya dari upaya Soros untuk beraktivitas di negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah? Apakah betul bahwa Soros hanya berniat mengembangkan demokrasi di sana? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa memulainya dengan membahas apa yang terjadi di Georgia. Georgia memiliki posisi yang strategis, yaitu antara antara Laut Hitam dan Laut Kaspia yang kaya minyak. Karena itu, sejak lama negara ini telah menjadi fokus intrik dan konflik di antara berbagai kekuasaan besar dunia. Menyusul runtuhnya Uni Soviet, kebijakan imperialisme AS yang paling utama adalah melemahkan Rusia dan menanamkan dominasi di Georgia dan negara-negara Kaukasus lainnya.
Cadangan Minyak Senilai 17 Milyar Dolar
Sejak awal masa pemerintahan Clinton, Washington menanamkan modal politik dan diplomatik yang sangat besar di dalam proyek pembangunan jalur pipa minyak yang akan mengalirkan minyak dari ladang minyak Azerbaijan ke negara Barat. Kekayaan minyak yang dimiliki Azerbaijan dari ladang Azeri-Chirag-Gunashli antara tahun 2003 hingga 2010 diperkirakan mencapai 17 milyar dolar dengan harga minyak 25 dolar perbarel. Bila diperhitungkan dengan harga dolar beberapa pekan terakhir yang melonjak hingga 50 dolar, berarti penghasilan minyak Azerbaijan bisa mencapai 24 milyar dolar.
Besarnya nilai minyak di Azerbaijan telah membuat AS sangat berambisi menanamkan dominasinya di wilayah itu. Jalur pipa minyak Azerbaijan yang sedang diincar AS itu mau tidak mau harus melewati wilayah Georgia. Karena itu bagi Washington, menciptakan kestabilan di Georgia dengan cara mendudukkan rezim yang pro-AS, merupakan sebuah hal yang sangat urgen. Kecondongan Presiden Shevardnadze kepada Rusia telah membuat AS memutuskan untuk menggulingkannya dengan bantuan Soros Foundation.
Sejak beberapa tahun sebelum tergulingnya Shevardnadze, Soros Foundation melakukan berbagai langkah, antara lain membiayai media massa yang gencar mengkritik pemerintah, sehingga menciptakan kebencian rakyat kepada Shevardnadze. Segera setelah tergulingnya Shevardnadze, pemerintah Washington langsung menyampaikan ucapan selamat kepada pemerintah baru Georgia dan mengeluarkan ancaman kepada Rusia agar jangan mencampuri urusan dalam negeri Georgia. Para pejabat tinggi AS termasuk Donald Rumsfeld, juga segera datang ke Georgia. Begitu pula pejabat Bank Dunia, IMF, dan lembaga finansial internasional lainnya.
PIPA MINYAK BAKU TIBLISI DAN CEYHAN
Pada bulan Maret 2004, Presiden baru Georgia, Mikhail Saakashvili, bertemu dengan Presiden Azerbaijan yang dikenal pro-AS, Ilham Aliyev, untuk membicarakan pembangunan pipa minyak Baku-Tiblisi-Ceyhan (BTC). Jalur minyak inilah yang sangat diincar oleh AS karena akan menyalurkan minyak mentah dari Baku Azerbaijan, melewati Tiblisi, Georgia, dan berakhir di Ceyhan, Turki. Jalur ini harus melewati wilayah Rusia, namun pemerintah Rusia menolak pembangunan jalur pipa minyak ini karena menganggapnya sebagai usaha AS untuk menginfiltrasi negaranya. Penolakan Rusia ini pula yang menjadi alasan dari berbagai upaya AS, termasuk melalui tangan Soros Foundation, untuk menggoyang pemerintahan Vladimir Putin.
Konstruksi pembangunan pipa minyak BTC itu sedang dibangun oleh sebuah konsorsium multinasional, yang mendapat dukungan AS. Anggaran total proyek ini diperkirakan mencapai tiga milyar dollar. Jalur minyak ini akan mengalirkan satu juta barel minyak mentah perhari ke terminal tanker minyak di Mediterania. Bahkan, rute pipa minyak BTC ini juga bisa dipakai untuk mengalirkan minyak dari Kazakhstan. Pada pertemuan di Baku, Azerbaijan, Presiden Georgia dukungan AS, Mikhail Saakashvili, mengulang komitmennya terhadap proyek pipa minyak BTC dan bersumpah akan melawan setiap halangan dalam pembangunan pipa ini, termasuk halangan dari Rusia sekalipun.
Pembangunan pipa minyak BTC dan semakin dalamnya pengaruh AS di Kaukasus tampak sebagai bagian dari strategi AS yang lebih besar lagi, yaitu menguasai cadangan minyak dan gas di wilayah yang disebut-sebut sebagai Busur Ketidakstabilan. Isu Perang Melawan Terorisme telah dieksploitasi AS sebagai upaya untuk mengintervensi wilayah tersebut. Dalam rangka ini, Washington telah menyerang dan menduduki Irak, sebagai usaha untuk menguasai cadangan minyak Irak yang sangat kaya. AS juga telah mendudukkan pasukannya di Afghanistan dan beberapa negara eks-Soviet di Asia Tengah. Tentara AS itu diprediksikan akan membantu pengamanan rute pipa minyak lainnya, yaitu jalur Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan.
Dalam proyek raksasa di bidang minyak ini, Presiden Bush dan George Soros memiliki tujuan yang sama. Karena itu, meskipun Soros dikenal sebagai pengkritik Bush, namun dalam mencapai tujuan sama di bidang minyak ini, mereka pun berjalan beriringan. Soros memiliki kaitan erat dengan James Baker, pendukung kuat mesin politik Bush. James Baker adalah partner bisnis Soros pada perusahaan Carlyle Group. Salah seorang pemilik saham perusahaan ini adalah George Bush senior, ayah Presiden Bush. James Baker sendiri adalah salah seorang makelar dalam proyek minyak Azerbaijan. Adanya koneksi erat di bidang bisnis inilah yang membuat Bush dan Soros seiring-sejalan.
Tak heran bila untuk kepentingan bisnis raksasa ini, Soros Foundation mau mengucurkan dana jutaan dolar melalui Institut Masyarakat Bebas dan LSM-LSM seperti International Crisis Centre (IGC) yang beraktivitas. Kedua lembaga ini beraktivitas di hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah yang kaya minyak. Melalui tangan Soros Foundation inilah rezim Washington berhasil menggulingkan Presiden Shevardnadze di Georgia, mendudukkan Viktor Yushchenko di Ukraina, serta menginfiltrasi Azerbaijan dan negara-negara lainnya.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, berbagai aksi yang dilakukan oleh Soros Foundation membuktikan bahwa meskipun dibungkus dengan slogan demokrasi dan kebebasan, tujuan utama yayasan ini adalah untuk membuka jalan bagi rezim Washington dalam memperluas imperialismenya di dunia. Sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, dana Soros Foundation didapat dari hasil spekulasi valuta asing yang mengakibatkan kehancuran ekonomi berbagai negara dan menyebabkan kemiskinan puluhan juta orang. Kini, dengan mengeluarkan uang dalam kedok amal kebajikan, George Soros sesungguhnya sedang berusaha mengeruk harta kekayaan yang lebih banyak lagi. Karena itu, bangsa-bangsa yang berjiwa merdeka sudah seharusnya waspada terhadap gerak-gerik yayasan ini di negara mereka.
Read More …