MERESENSI NOVEL
OLEH
MUHAMMAD MUBARAK CHADYKA PUTRA
KELAS XI.KHUSUS
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah, segala
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan resensi novel “Gelombang Sunyi”
karya Taufik Ikram Jamil. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan
dan teladan manusia, Nabi Muhammad SAW,
yang telah menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Semoga kami senantiasa menjadi umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman.
Resensi novel ini
disusun untuk menyelesaikan salah satu tugas Bahasa Indonesia kami. Dalam
proses penyelesaian resensi novel ini tak lepas dari bantuan dan dukungan orang-orang terbaik disekitar kami.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami hendak mengucapkan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya guru pembimbing kami Drs. H. Lukman yang banyak membantu dalam
menyelesaikan tugas resensi ini.
Disadari bahwa resensi novel
ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari kami. Akhirnya dengan
segala kerendahan hati kami mengharap
kritik dan saran untuk kesempurnaannya, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat
bagi pembaca, terutama bagi kami keluarga besar SMA Negeri 2 Parepare. Amin.
Parepare, 25 Mei 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Novel................................................................ 1
B.
Tujuan Pengarang....................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan Resensi........................................................... 2
D.
Manfaat
Novel........................................................................... 2
E.
Sasaran....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Judul Resensi.............................................................................. 3
B.
Identitas Buku............................................................................ 3
C.
Ulasan Buku atau Sinopsis......................................................... 3
BAB III HAL-HAL
MENARIK DARI NOVEL
A.
Kelebihan Novel....................................................................... 14
B.
Kelemahan Novel..................................................................... 14
C.
Unsur Bahasa........................................................................... 14
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................... 16
B.
Saran......................................................................................... 17
Daftar Pustaka................................................................................................... 18
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Novel
Novel ini seakan menjadi
curahan hati Pak Taufik tentang kondisi keterkinian Melayu. Beliau berpandangan
bahwa Riau mengalami amnesia sejarah. Perlu diingat, sejarah bukanlah sekedar
persitiwa masa lalu, tetapi memiliki filosofi tersendiri yang akan memberi
banyak pengaruh terhadap jalannya suatu daerah pada masa akan datang. Dalam
karyanya, beliau berusaha melayani tantangan
realitas dengan menunjukkan fakta-fakta sejarah tertentu dalam
menjelaskan bagaimana bahasa hadir sebagai sebuah konstruksi sosial.
Novel ini berkisah tentang
cerita perjuangan jurnalis memberikan bantuan hukum kepada saudara serumpunnya
yang haknya tercerabut oleh kekuasaan dan terusir dari tanahnya sendiri. Tanpa
disadarinya usahanya justru membuat dirinya disekap dan disiksa. Lama-kelamaan,
jurnalis itu seakan-akan mengalami ‘mati suri’ dan
jiwanya meronta-ronta untuk bebas dari penderitaan tersebut.
B.
Tujuan Pengarang
Tujuan penulis novel “Gelombang
Sunyi”, adalah untuk memberikan informasi dan inspirasi tentang seorang
jurnalis yang mengalami masalah serius dari salah satu pihak atas pemberitaannya
selama ini. Di sini, jurnalis itu membantu warga kampung untuk mendapatkan
perlindungan hukum agar tanah milik mereka tidak dirampas perusahaan raksasa
yang mencaplok tanah di kampung mereka. Jadilah Kahar dan kawan-kawan
bulan-bulanan, pihak keamanan yang disewa perusahaan untuk menghentikan
aktivitasnya melawan mereka. Si jurnalis, bahkan diculik dan disiksa sedemikian
rupa agar tidak lagi melanjutkan pemberitaan persoalan itu di media massa
tempatnya bekerja.
Menurut Pak Taufik,
penulis novel ini, kisah yang digambarkan dalam novel tersebut sebenarnya tetap
aktual hingga hari ini, salah satunya di Riau. Banyak sekali kisah serupa
terjadi di negeri ini dan masih berlangsung hingga sekarang. Kita sering
mendengar dan melihat kejadian yang digambarkan dalam karya ini dalam berbagai
media massa, baik cetak maupun elektronik. Penggambaran ini diharapkan bisa
membuka mata pikir berbagai pihak berwenang agar tidak membabi-buta dalam
mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lihatlah kondisi masyarakat kita di
kampung-kampung yang menjadi korban atas pencaplokan tanah dan hutan mereka.
C.
Tujuan Penulisan Resensi
·
Untuk memenuhi
tugas Bahasa Indonesia
·
Untuk menambah
wawasan dan mengasah kemampuan untuk membuat resensi
·
Untuk melatih
diri dalam bekerja dan kami ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat
tentang isi novel ini layak atau tidak untuk dibaca
D.
Manfaat Novel
Novel ini bermanfaat bagi semua masyarakat khususnya
jurnalis dan pembela masyarakat kecil. Selain itu, untuk mengetahui cerita
kehidupan jurnalis yang disekap karena pemberitaannya.
E.
Sasaran
Novel ini ditujukan untuk semua kalangan membacanya
karena di dalamnya banyak dimuat kata motivasi dan inspirasi. Tetapi, cerita
mesti kita lihat dari segala sudut pandang.
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Judul Resensi
Membungkam Ketidakadilan Penguasa dengan Romantisme
Wartawan Melayu
B.
Identitas Buku
1)
Judul Buku :
Gelombang Sunyi
2)
Pengarang : Taufik Ikram
Jamil
3)
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
4)
Tempat
Penerbitan : Jakarta
5)
Tahun
Penerbitan : 2001
6)
Tebal : viii
+ 165 halaman
7)
Ukuran Kertas : 14 x 21 cm
8)
No. ISBN :
979-9251-64-8
9)
Harga : Rp.
21.000,-
10)
Resensitor : Muhammad
Mubarak C.P.
C.
Ulasan Buku atau Sinopsis
Terus
terang, sebelumnya saya tidak tahu bahwa kita memiliki seorang sastrawan
bernama Taufik Ikram Jamil. Ternyata, penulis asal Riau ini, telah banyak
melahirkan karya sastra di tanah air. Baik berupa puisi, cerpen maupun novel.
Bahkan beberapa karyanya tersebut pernah meraih penghargaan : Sandiwara
Hang Tuah (1997) mendapat penghargaan sebagai karya budaya terbaik
dari Yayasan Sagang Pekanbaru. Tahun berikutnya, Hempasan Gelombang (roman)
menjadi juara harapan dua dalam Sayembara Penulisan Roman DKJ serta cerpennya
yang berjudul Jumat Pagi Bersama "Amuk" (1999)
meraih predikat sebagai Cerpen Utama Indonesia 1998 (juga versi DKJ).
Selain
dikenal sebagai seorang cerpenis dan penyair, beliau juga dikenal sebagai
jurnalis. Ia memulai karir kewartawanannya pada tahun 1983 sebagai wartawan di
Mingguan Genta, Pekanbaru. Tahun 1988, ia pindah ke Kompas dan sempat
ditugaskan di Jakarta. Pada tahun 2002, ia berhenti menjadi wartawan Kompas
untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide kreatifnya demi kemajuan seni dan sastra.
Barangkali karena terlahir sebagai orang
Melayu, Taufik Ikram Jamil, sejak awal kehadirannya di dunia sastra, rupanya
telah memposisikan dirinya sebagai sastrawan Melayu. Ini bisa kita lihat dari
karya-karyanya yang sangat berbau Melayu, seperti : Tersebab Haku
Melayu (kumpulan puisi - 1995). Baginya tentu akan lebih mudah menulis
dengan pendekatan budaya, tradisi, dan kebiasaan yang telah sangat akrab
dengannya, yaitu : budaya Melayu. Karya yang tercipta akan lebih terjiwai oleh
kedekatan kultural tersebut. Contohnya roman Siti Nurbaya karya
Marah Rusli yang telah melegenda karena banyaknya kedekatan kultural yang
tercipta. Pak Taufik menyebut fenomena tersebut sebagai sebuah sastra subkultur seperti dikutip dalam
Kata Pengantar novel Gelombang Sunyi ini.
Tema yang diangkatnya tentang asam manis dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, di bawah
sebuah rezim otoriter. Roman ini berbau politik yang menceritakan perlawanan
orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan. Tokoh ‘aku’ yang
dijadikan sebagai pemeran utama dalam novel ini adalah seorang wartawan yang
dalam perjuangannya membela saudara serumpunnya harus merasakan sakitnya
disekap dalam kegelapan yang ia pun tak tahu dimana tempatnya.
Aku adalah seorang wartawan yang membela hak
orang-orang di sebuah kampung yang tanahnya harus digusur untuk mendirikan
perkebunan oleh sebuah perusahaan perkebunan nasional.
Aku mengurus bantuan hukum bagi Kahar dan 18 orang
penduduk kampong lainnya yang dituduh membakar barak dan kantor perkebunan
besar swasta nasional tersebut. Beberapa orang meninggal dan yang lainnya
terluka. Kahar mengaku tidak melakukan penyerangan tersebut karena sudah 3 hari
tidak pulang ke rumah, pergi ke hutan.
Aku sekarang berada di tempat gelap ini, entah
dimana aku tidak tahu karena hanya gelap yang dapat dijumpai. Sampai dalam
kegelapan berkelebatanlah berbagai macam ragam kisah heroik perjuangan bangsa
Melayu Riau-Lingga untuk mempertahankan haknya dari pemerintah Hindia Belanda.
Apakah
selanjutnya sang wartawan dibebaskan dari tempat gelap yang mengurungnya?
Apakah dia masih dapat menjumpai cahaya yang diharapkannya menyergap hari-hari
nya?
Tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai wartawan, bisa
jadi berangkat dari pengalaman penulisnya yang juga wartawan. Dalam menjalankan
tugasnya, seorang wartawan kerap menghadapi berbagai bahaya yang mengancam
nyawanya. Jika sebuah fakta tidak menyenangkan menyangkut nama seorang terkenal
atau pejabat diangkat menjadi berita, tak jarang wartawan yang menulisnya lalu
menjadi sasaran teror. Ingat saja tragedi yang menimpa beberapa wartawan di
Maluku, wartawan sebuah stasiun TV swasta yang harus meregang nyawa demi profesi ini beberapa
tahun yang lalu. Kisah roman ini mirip kisah Kahar yang juga salah satu tokoh
dalam novel itu.
Tokoh Aku mengalami nasib yang sama dengan Kahar :
diculik, disiksa, dianiaya, oleh pejabat pemerintah daerah yang tidak suka pada
pemihakannya terhadap orang-orang desa yang mempertahankan tanah mereka. Mereka
menolak tanahnya dijadikan lahan perkebunan swasta. Aku secara
intens menurunkan berita tersebut yang membuat merah kuping para pejabat. Ia
tidak hanya menulis berita, tetapi juga mencarikan seorang pengacara bagi para
warga desa itu. Rasa kemanusiaannya terusik melihat kezaliman yang terjadi di
depan matanya. Itulah yang kemudian mendatangkan bencana baginya.
Di dalam novel ini, penulis juga menyisipkan sebuah
cerita mistis agar pemahaman pembaca semakin kuat dengan adanya ikatan cerita
saat tokoh ‘aku’ harus mendengarkan suara yang ia bingung suara apa sebenarnya?
Suara tersebut dihentakkan berkali-kali ke
dalam alat pendengaranya dengan bahasa yang lain pula.
“Zeg woula tartitaba ti tiu…” Suara manusia pikirku.
Suara manusia yang keras di tengah gauh suara musik. Ya, tai apa yang dikatakan
orang itu? Aku tak mengerti.
Bulu romaku merinding. Jangan-jangan itu suara
hantu. Aku ingat, hantu paling suka di tempat yang gelap mengakap macam ini, di
tempat cahaya tidak bermata, di temoat sinar kehilangan gerak.
Di Kampung Sauli,
aku pernah melihat bagaimana orang ingin mengetahui sesuatu dari seseorang
dengan memanfaatkan hantu yang kononnya berserang di tubuh orang tersebut,
yakni Imah. Masyarakat kampung pusing tujuh keliling, karena Imah mengaku bahwa
dirinya dihamili oleh Joj Bus.
Tak dapat pula aku membayangkan bagaimana seorang ditangkap hanut. Waktu
kecil dulu, aku dan kawan-kawan paling takut
dengan hantu yang namanya Kupik. Hantu ini perempuan, memiliki rambut
panjang dan mempunyai nyuk atau susu
kata orang kampungku, melempai di bahu sampai putingnya menjejak tumit.
Lucunya setelah menakut-nakuti pembaca dengan
beberapa bagian mistis, novel ini kemudian dituangkan sebuah kisah konyol
ketika Imah si wanita kerasukan mengaku dihamili oleh Joj Bus, yang tak lain
dimaksud adalah George Bush. Pada saat itu, memang lagi tren berita tentang
Bush yang memutuskan menyerang Irak untuk mengangkat pamor politiknya.
Konon, rangkaian kata yang menunjukkan nama Joj Bus
tidak ada dalam kamus hantu lainnya, seperti kata kencing yang berarti hujan, inyik berarti penunggu, sedangkan datuk
berarti harimau.
Seorang terpelajar di kampung tersebut menerjemahkan
kata Joj Bus dengan sebutan George Bush, Presiden Amerika waktu itu. Jadi, Imah
dihamili oleh pemimpin Negara besar tersebut. Tetapi pemuda ini cepat membantah
dengan mengatakan bahwa membesarnya perut Imah belum tentu disebabkan oleh
zinah, tetapi oleh penyakit atau katakannlah hamil anggur. Imah menyebut nama
George Bush karena nama itu yang melekat di alam bawah sadarnya seiring dengan
disebut-sebutnya Bush dalam berbagai
berita, terutama radio, antara lain, deisebabkan keputusan Bush menyerang Irak untuk
mengangkat pamor politiknya.
Keputusan penulis dalam menuangkan kisah konyol
tersebut terkesan ampuh dalam mengalihkan keseriusan pembaca dalam menelaah
banyak tulisan politik. Cerita jenaka politik tersebut, juga memberikan pesan
bahwa politik tidak selamanya harus diseriusin, karena efek jenak juga bisa
masuk kedalammnya.
Untuk memperkuat ceritanya, penulis menyisipkan
pula kisah kerajaan Riau-Lingga yang sultannya menolak tunduk pada
pemerintah Hindia Belanda (1800-an). Tak berhubungan memang, antara kisah si
wartawan dengan Sang Sultan. Mungkin mengutip dari Kata Pengantar
Penerbit, untuk menegaskan semangat kemelayuan roman ini.
Ya, aku ingat cerita anakku, tentang bagaimana
setelah Kerajaan Sultan diserang tikad kurang dari 500 orang tentara Hindia
Belanda, Sultan harus menandatangani perjanjian yang menunjukkan bahwa
Riau-Lingga tunduk kepada Hindia-Belanda. Sultan telah berusaha menolaknya
berkali-kali, kemudian seperti tanpa daya harus menuruti kemauan Hindia-Belanda
setelah Istana Sultan dikepung dengan senjata api siap tembak. Tetapi, Sultan
meminta waktu satu hari, ternyata kesempatan ini digunakannya untuk
meninggalkan Riau bersama keluarga dan pengawalnya di tengah malam buta yang
pekat.
Karena terpukul dengan kaburnya Sultan Riau-Lingga,
Residen Hindia Belanda di Tanjungpinang, Bruinskops, merasa huruf-huruf yang ia
tulis telah meninggalkan kalamnnya. Surat yang kesembilan belas kali ditulisnya
itu diremasnya lagi. Digumpal dan dimasukkannya dalam tong sampah di kaki meja.
Semua yang ditulisnya mengenai kepergian Sultan Riau-Lingga dari pulau
Penyengat, sekaligus tidak menandatangani surat kontrak baru mengenai kedudukan
Riau-Lingga sebagai wilayah pinjaman Hindia-Belanda, tidak muncul di kertas. Di
lembaran agak kekuningan itu ia hanya melihat huruf yang seluruhnya “o”.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pengerahan
tentara justru disambut Sultan dengan tindakan menghilang. Padahal sebenarnya
ia tidak bernafsu memerangi Riau-Lingga secara militer, kecuali kalau memang
Riau-Lingga menanggapi pendaratan sekita 500 orang tentara tersebut dengan
senjata pula.
Setelah membaca kisah kerajaan Riau-Lingga yang
sultannya menolak tunduk pada pemerintah Hindia Belanda (1800-an). Dapat
kita ketahui, bahwa “aku” ingin menghubungkan kisahnya dengan kisah Ali Bukit,
seorang kerabat terdekat Sultan yang memiliki pengaruh besar dalam alam Melayu.
Ali Bukit menjadi salah satu orang yang pernah diintrogasi pihak Residen Hindia
Belanda, tetapi ia menjawabnya dengan suatu kesadaran sebagai manusia yang
sedikit pun tidak berkaitan dengan pertanyaan Hindia Belanda. Ia bahkab secara
panjang lebar mengkritik kata “firman” yang terdapat dalam konsep kontrak
Hindia Belanda. Kisah tersebut sesuai dengan kisah “aku” yang juga rela
tersiksa ketika disekap.
Dua belas orang penduduk Penyengat yang diintorgasi
tidak tahu ke mana Sultan pergi atau mungkin saja mereka tidak bersedia memberi
tahu kepergian Sultan. Mereka malahan berlagak bodoh yang tidak tahu apa-apa.
Pukulan dan terjangan tidak membuka peti kata-kata mereka yang berkaitan dengan
kepergian Sultan.
Residen menolak usulan tentara agar menangkap Ali
Bukit, karena ia yakin tindakan tersebut akan mempermalukan Hindia Belanda
sendiri. Jelas memang, Ali Bukit bermaksud mengenyahkan Hindia Belanda dari
bumi Riau lewat aktivitasnya yang tertuang dalam buku-buku, kegiatan ekonomi,
dan pidatonya, tetapi semuanya itu dilakukan tanpa meninggalkan bekas.
Bukankah pernah Ali Bukit diintrogasi selama delapan
jam tahun lalu yang tidak menghasilkan apa-apa. Semua pertanyaan dijawabnya
dengan suatu kesadaran sebagai manusia yang sedikit pun tidak berkaitan dengan
Hindia Belanda. Ia bahkan secara panjang lebar mengkritik kata “firman” yang
terdapat dalam konsep kontrak Hindia Belanda-Riau-Lingga sebagai suatu
pengkhianatan bukan hanya terhadap kemanusian tetapi juga terhadap Islam. Ali
Bukit terus saja bicara walaupun orang yang mengintrogasinya tidak mengerti
terhadap ucapannya.
Banyak cerita dan kisah yang terus terdengar dan
masuk ke pikiranku, aku tak bisa
tertidur apalagi istirahat, ditengah hiruk-pikuk musik semacam ini. Mungkin aku
mendengar cerita dari seseorang. Tetapi kapan dan dimana? Di tempat ini? Aku
coba mencari sesuatu dengan mataku, meskipun aku tahu hanya gelap mengakap saja
yang akhirnya ku dapat. Setengah hatiku mengatakan bahwa mungkin aku tidak
sendiri, tetapi ada orang lain dan orang itulah yang bercerita dalam tidurnya.
Kalau demikian halnya, tentu tempat orang itu
tidak jauh dari tempatku berada
sekarang. Ya, tak mungkin orang itu berteriak dengan alas an kejauhan jarak
denganku, karena bagaimanapun suaranya akan disembar musik berdentam-dentam,
tad a dam tam…. Kalaupun berteriak dengan suara serupa, telingaku tidak
menangkap demikian. Alat pendengaranku menangkap cerita itu dituturkan dengan
nada datar. Suara musik yang seharusnya memekakan seperti terkuak oleh cerita
itu.
Benar, seperti dikatakan sahabatku Dr Kamel,
psikolog ternama itu, bukan aku dan anankku saja yang bercerita dalam tidur
dengan cerita yang bersamaan dan sambung-menyambung pula. Cerita tentang suatu
kerajaan yang berhadapan dengan Hindia-Belanda. Kalau tidak percaya, tanya pada
Dr Kamel atau baca sendiri buku Hempasan
Gelombang.
Sebaliknya aku berpikir, kalau ada orang lain,
mengapa orang tersebut tidak menyahuti panggilanku. Penat aku memekik melolong
memanggil sesuatu, tetapi yang kuterima hanya diam. Orang itu memerlukan umpan
balik, tetapi bukan diriku. Sampai disini, aku teringat suara seseorang yang
menggunakan bahasa yang aku tak mengerti : Zeg
woula tertitaba ti tiu?
Asik bercengkrama dengan nyamuk yang terus
menggerogotiku, bahuku pun terasa ada yang menyeretnya. Aku bertanya siapa
mereka? Mereka tidak menanggapi, aku terus saja diseret, badanku sakit sekali.
Ternyata mereka orang-orang yang bertopeng itu, yang sejak pertama kali aku ke
tempat yang entah dimana ini aku hanya bertemu dengan orang-orang bertopeng.
Yang jelas, selain bertopeng hitam, rambut merekapendek-pendek, badan tegap,
dengan celana ketat, dan sepatu berkilat.
Aku beritahu mereka bagaimana karena rasa malu itu,
Negara dapat mengesampingkan penderitaan rakyat. Oleh karena rasa malu
tersebut, rakyat harus menyerahkan tanah mereka. Pada beberapa tempat memang,
konon disediakan ganti rugi. Tetapi memanglah ganti rugi namanya karena harga
tanah semester lebih murah dibandingkan sebatang rokok. Rakyatlah yang berada
pada pihak yang rugi itu. Seharusnya Negara memikirkan bagaimana hak-hak rakyat
tidak diambil, tetapi sebaliknya mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih
bernilai.
Setelah berdebat dengan mereka tentang kepemilikan
tanah yang sah milik rakyat, tiba-tiba saja rasa sakit di sekujur tubuhku
menghilang. Jiwaku bergelora, melayang ke kampung Kahar. Demi atas nama
pembangunan, penduduk di kampung Kahar harus diperkosa. Pembangunan seolah-olah
menjadi kata terkutuk yang menanak sepanci dendam. Sungguh memilukan, bagaimana
pembangunan itu sendiri dapat disimbolkan oleh sejumlah orang. Bagaimana
mungkin mereka menamakan diri sebagai pembangunan, padahal pembangunan ingin menempatkan
dirinya pada pemberdayaan umat.
Aku tak gentar
dituding sebagai komunis, karena tudingan seperti itu acapkali kudengar
di tengah masyarakat. Dengan tudingan itu, mereka membungkam banyak warga.
Sudah menjadi “merek dagang”, setiap apa-apa yang dilakukan masyarakat yang
tidak berkenan di hati perut pemerintah, akan dicap komunis. Lihatlah Kahar,
Sudin, Bakar, Adnan, Wahab, dan entah siapa lagi.
Tak beberapa lama setelah aku tiba kembali di tempat
yang gelap mengakap ini, tubuhku dihujani berbagai pukulan. Darah mencucur dari
hidung dan mulutku. Bagian muka hampir tak ada yang dapat kupegang lagi karena
memar. Perih menancap di sekujur tubuh. Mengeluh pun aku merasa tak bisa, tak
bisa, tak bisa. Maka sakitku pun terasa makin menjadi-jadi, melepah pada semua
persendianku.
Ah, aku pun paham bahwa cerita sebenarnya tidak
pernah berakhir, sama seperti kehidupanku. Setelah manusia pupus, cerita akan
tetap ada, karena manusia hanyalah salah satu sumber cerita meskipun sumber
yang utama. Maksud suara “Krio pasteula”,
barangkali, bahwa penggal dari suatu cerita saja yang berakhir, yakni tugasnya
sebagai cerita, kemudian melahirkan anaknya sebagai cerita-cerita lain, lalu
bersama-sama pula melahirkan suatu cerita sebagai induk cerita yang lain pula.
Begitu seterusnya walau waktu untuk semuanya itu amat beragam.
Saat seperti itulah aku merasa melihat sebuah pintu
memanggil-manggil namaku. Sebuah pintu yang memiliki cahaya tanpa bercampur
gelap, sehingga batas antara gelap dan cahaya
terlihat amat jelas. Barangkali karena takjub, sakit dihajar oleh
seseorang atau beberapa orang tadi menyingkir dari tubuhku segera. Kakiku
begitu saja melangkah ke pintu yang bercahaya. Tetapi belum sempat aku berpikir
lebih jauh, tubuhku tersedot keluar, ke balik pintu. Langkah mundurku tertahan
oleh desauan angin yang menerpa dari belakang.
Aku melihat begitu banyak pohon dan cahaya
menghampiriku, oh indahnya alam kebebasan. Sampai di rumah, badanku terasa
melayang-layang. Dua hari kemudian, aku mendengar kabar dari kawan serumahku
bahwa dia pulang kampung ternyata karena dilamar orang. Aku tanyakan kebenaran
ini kepada teman karibnya yang tetap mengatakan tidak tahu. Dengan menggunakan
bus, aku segera tercancang di kampungnya.
Tidurku mungkin baru saja terlayang, ketika kudengar
orang bercakp-cakap. Langsung saja, perasaan tertekanku bingkas lepas karena
barangkali aku mungkin dapat berbagi perasaan dengan orang-orang itu. Cuma
saja, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, aku tidak segera beraksi. Lebih
baik aku menunggu, setidak-tidaknya mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.
Ya, hanya mendengar, itu pun di tengah suara musik yang berdentam-dentam,
sementara mataku hanya dapat menangkap kegelapan. Aku dengar, mereka bicara
cukup kuat, mungkin unbtuk melawan lalu lintas suara musik yang berselerak
piak.
Mereka saling bercerita mengenai sesuatu yang
bersifat nasional, mungkin mengenai transmigrasi dan kebijakan pemerintah
lainnya. “Nasional mereka pahami yakni keseragaman yang dipaksakan, padahal
yang seragam adalah abstrak” kata satu orang yang suaranya biasa saja.
“Pendatang baru haruslah tunduk dengan tatanan yang ada pada wilayah yang
didatanginya. Jika nanti, secara alamiah, tatanan pendatang berkawin dengan
tatanan wilayah semula, itu namanya suatu dialogis yang melahirkan tatanan baru
setidak-tidaknya bermatamorfosis. Itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi.”
kata si suara serak.
Akhirnya, setelah terus mendengarkan pembicaraan
mereka, tibalah cerita mereka mengenai wartawan yang memberi bantuan hokum
kepada Kahar dan penduduk kampung. Aku menahan nafas mendengar kalimat
tergantung yang mereka ucapkan. Tak salah lagi, akulah yang dibicarak
orang-orang itu. Akulah si wartawan itu. Kini, aku tahu mengapa mereka menyekap
dan menyiksaku, mereka tidak suka aku membantu masyarakat yang kehilangan
tanahnya.
Setelah banyak bercerita mengenai kisah yang
terdengar oleh tokoh “aku” sang penulis cerita kembali lagi menceritakan ulang
mengenai kelanjutan kisah Kerajaan Sultan Riau-Lingga dan Hindia Belanda.
Dimana pihak Hindia-Belanda sudah mulai mengetahui keberadaan Sultan.
Keesokan
paginya Kria mengatakan kepada isterinya bahwa mereka harus pindah ke
Singapura. Perempuan ini sempat mempertanyakan sikap tersebut, tetapi cepat
dipatahkan Kria dengan mengatakan bahwa di Riau-Lingga sekarang keadaan tidak
menentu. Terlebih lagi Hindia belanda melalui agen-agennya di Singapura telah
mengetahui posisi Sultan, bahkan bagaimana Sultan, keluarga, dan pengawalnya
dapat melarikan diri.
Syahdan, aku begitu saja merasa berada pada sebuah
perkampungan yang hiruk-pikuk. Orang-orang berlari seperti tak cukup tanah.
Mereka menjerit, anak-anak menangis terpekik-terpekau. Dalam kebingungan, aku
mengikuti arus orang-orang tersebut, ikut berlari yang tak kutahu kemana
arahnya. Sebungkah tanah menyampuk langkahku, menyebabkan aku tersungkur.
Untunglah sepotong tangan menyambar bajuku dan aku terangkat bersama ucapan
terima kasih yang tak sempat kuucapkan.
Aku berlari bersama orang-orang tersebut, kulihat
seseorang mengangkat telapak tangan dan kemudian mengebasnya ke arah pintu.
Dengan serta merta aku keluar dari ruangan tersebut. Sampai di pintu, aku coba
membelakangi badan untuk melihat orang yang sedari tadi berkata sambil
membelakangi tubuhku. Ia masih tetap memandang keluar.Ketika mataku menangkap
mobil berwarna hitam tercagak, baru aku percaya bahwa aku sudah berada di luar
tempat yang gelap mengekap. Kini cahaya memelukku erat.
BAB
III. HAL-HAL MENARIK DARI NOVEL
A.
Kelebihan Novel
Kelebihan novel ini adalah
menarik, inspiratif dan bisa memotivasi kita dalam kehidupan sehari-hari. Dari
alur ceritanya, kita bisa merasakan tokoh “aku” yang berharap untuk melepaskan
diri dari sekapan pihak keamanan yang
ternyata terjadi dalam angan belaka tokoh “aku”. Selain itu, kita diajarkan
bagaimana kegigihan seorang pejuang daerah yang ikhlas untuk disiksa demi
memberikan bantuan kepada saudara serumpunnya dalam menghadapi penguasa.
Kelebihan lain novel ini adalah kisah yang diangkat berasal dari kehidupan
seorang jurnalis. Bagaimana ia membuat berita untuk menyampaikan kebenaran
terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
B.
Kelemahan Novel
Kelemahan novel ini adalah
masih adanya tulisan yang kurang dimengerti dan kurang menarik oleh pembaca
karena bahasa yang digunakan masih ada yang berbahasa Melayu. Sebagai tambahan,
ada beberapa paragraf dalam novel ini yang tidak layak untuk dibaca oleh anak
usia 17 tahun kebawah karena memuat bacaan eksploitasi seksual. Sebagai contoh
kalimat dari paragraf tersebut adalah “Aku lumat bibirnya yang tipis…”
C.
Unsur Bahasa
Barangkali karena terlahir sebagai orang
Melayu, Taufik Ikram Jamil, sejak awal kehadirannya di dunia sastra, rupanya
telah memposisikan dirinya sebagai sastrawan Melayu. Ini bisa kita lihat dari
karya-karyanya yang sangat berbau Melayu, seperti : Tersebab Haku
Melayu (kumpulan puisi - 1995). Baginya tentu akan lebih mudah menulis
dengan pendekatan budaya, tradisi, dan kebiasaan yang telah sangat akrab
dengannya, yaitu : budaya Melayu. Karya yang tercipta akan lebih terjiwai oleh
kedekatan kultural tersebut. Contohnya roman Siti Nurbaya karya
Marah Rusli yang telah melegenda karena banyaknya kedekatan kultural yang
tercipta. Pak Taufik menyebut fenomena tersebut sebagai sebuah sastra subkultur seperti dikutip dalam
Kata Pengantar novel Gelombang Sunyi ini.
Tema yang diangkatnya tentang asam manis dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, di bawah
sebuah rezim otoriter. Roman ini berbau politik yang menceritakan perlawanan
orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan.
BAB
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penulis, Taufik Ikram
Jamil bercerita tentang jurnalis yang disekap dalam ruang gelap yang mengakap
akibat mengungkap pencaplokan tanah masyarakat oleh perusahaan besar. Beliau
juga menceritakan perlawanan orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh
kekuasaan dan terusir dari tanahnya sendiri. Tanpa disadarinya usahanya justru
membuat dirinya tersekap. Penyiksaan
yang teramat berat membuatnya pingsan berkali-kali karena dikurung dalam ruang
gelap mengakap serta mendapat hantaman yang bertubi-tubi dari pihak keamanan
yang membela cukong-cukong berkantong tebal. Kisah tersebut diakhiri dengan
kesepakatan antara jurnalis dengan pimpinan keamanan yang sebenarnya hanya ada
dalam angan si jurnalis belaka. Artinya, jurnalis itu mengalami ‘mati suri’ dan
jiwanya meronta-ronta untuk bebas dari penderitaan tersebut.
Novel ini seakan menjadi
curahan hati Pak Taufik tentang kondisi keterkinian Melayu. Beliau berpandangan
bahwa Riau mengalami amnesia sejarah. Perlu diingat, sejarah bukanlah sekedar
persitiwa masa lalu, tetapi memiliki filosofi tersendiri yang akan memberi
banyak pengaruh terhadap jalannya suatu daerah pada masa akan datang. Dalam
karyanya, beliau berusaha melayani tantangan realitas dengan menunjukkan fakta-fakta
sejarah tertentu dalam menjelaskan bagaimana bahasa hadir sebagai sebuah
konstruksi sosial.
Peristiwa demi peristiwa
yang ditawarkan dalam novel ini telah dirakit sedemikian rupa sehingga kita
seekan terbawa ke dalam isi novel, bagaimana kita diajak untuk kembali
mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kerajaan Riau-Lingga.
Mungkin tidak hanya itu, novel ini juga memberikan kesadaran akan fakta.
Pak Taufik menuliskan
novel ini dengan bahasa yang jernih dan lugas, bernuansa jurnalistik. Novel ini
mengajarkan perlawanan-perlawanan yang harus dilakukan orang Melayu dalam
memahami keadaan. Novel ini sekaligus memberikan gambaran romantisme watawan
melayu dalam membungkam ketidakadilan pusat.
B.
Saran
Saran saya, novel ini
sangatlah bagus dan berguna bagi semua kalangan untuk membacanya karena di
dalamnya banyak dimuat kata motivasi dan inspirasi. Selain itu, banyaknya
komplikasi cerita dan kisah masa lalu yang tertuang dalam novel ini membuat
hati terkesan tak bosan untuk membaca kelanjutan ceritanya. Akan tetapi,
pembaca harus perlu menelaah beberapa kata dan kalimat yang tak dimengerti yang
disebabkan unsur Melayu yang kental dalam novel ini.
Perlu diperhatikan, dalam
novel ini juga memuat sejumlah tesis lama tentang Melayu, dan juga membantah
pemahaman umum tentang Melayu, yang dikembangkan oleh pemilik pemahaman yang
dangkal. Oleh karena itu, beberapa kisah tentang kebrutalan penguasa terhadap
daerah dalam novel ini juga mesti kita lihat dalam banyak sudut pandangan agar
tercipta pemahaman positif terhadap karya penulis.
Daftar Pustaka
Jamil,
Taufik Ikram. 2001. Gelombang Sunyi. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.